Harta, Tahta, dan Pulsa

ilustrasi
Share :
ilustrasi
ilustrasi

ragamlampung.com — Kini ada tiga hal yang penting bagi manusia yakni harta, tahta, dan pulsa. Itu lelucon anak-anak muda yang sejak lahir sudah akrab dengan gawai dan telepon seluler (ponsel). Mereka, kaum yang disebut digital native, memang tak bisa dilepaskan dari koneksi internet. Koneksi ini tentu tak gratis. Jika tak terhubung dengan wifi, gawai butuh koneksi yang dibayar lewat pulsa.

Pulsa kini menjadi kebutuhan vital bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Setidaknya, dalam pantauan Badan Pusat Statistik (BPS) pulsa makin berpengaruh dalam perekonomian. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto,September lalu, kenaikan harga pulsa turut mendorong inflasi.

Bulan itu, melaporkan inflasi mencapai 0,22 persen. Pulsa menyumbang hampir seperempatnya. “Tarif pulsa ponsel memberikan andil terhadap inflasi 0,05 persen,” kata Kecuk, Oktober lalu. Sepanjang Januari-September 2016 maka pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04 persen, pulsa juga turut mendorong perekonomian.

Menurut Kecuk, salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi adalah pembelian pulsa ponsel Juli lalu. “Kalau dilacak meningkatnya permintaan layanan data sangat signifikan pada hari-hari Lebaran,” ujarnya, Senin (7/11/2016), seperti dinukil dari financedetik.

Sektor informasi dan komunikasi, jika dibandingkan dengan tahun lalu tumbuh paling besar, 9,2 persen. Konsumsi pulsa ponsel dalam dalam sektor ini.

Tiga tahun lalu, Pelaksana Tugas Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menuding banjir ponsel di Indonesia mendorong tingginya konsumsi pulsa di masyarakat.

Bambang, mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menyebut, biaya yang dikeluarkan rumah tangga miskin untuk pulsa lebih besar dibanding biaya listrik. “Ini sudah tidak sehat, padahal listrik merupakan kebutuhan mendasar,” ujarnya, kala itu.

Di Lampung, di tahun yang sama, BPS Lampung mencatat jumlah penduduk miskin di Lampung masih sebanyak 1,29 juta jiwa. Alias 16 persen dari total 7,93 juta jiwa penduduk Lampung. Sepanjang tahun 2013, masyarakat Lampung menghabiskan Rp1,146 triliun untuk belanja pulsa ponsel.

Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Lampung Mukhamad Mukhanif menuturkan, angka belanja pulsa tersebut berasal dari 1,9 juta rumah tangga. “Jika dibagi, satu rumah tangga menghabiskan sekitar Rp570 ribu dalam setahun untuk membeli pulsa,” kata Mukhanif, Kamis (28/5/2013).

Lembaga survei Nielsen sejak lama menyurvei fenomena ini. Tujuh tahun lalu, mereka mendapati pulsa sudah mengalahkan konsumsi biskuit dan jenis makanan kecil lainnya.

Alokasi duit yang awalnya untuk membeli snack dialihkan untuk membeli pulsa.”Penjualan terendah biskuit terjadi di tahun 2009, musuh dari biskuit itu voucher HP (pulsa), ” kata Direktur Retail The Nielsen Yongky Surya Susilo, Rabu (28/4/2010).

Lima tahun kemudian, survei menghasilkan temuan yang sama. Bahkan, konsumsi pulsa makin tak bisa ditawar. Bahkan melebihi alokasi belanja makanan. Alasannya, orang Indonesia senang berkomunikasi.

Dalam The Nielsen Global Survey of Consumer and Spending Intentions pada kuartal III/2014, konsumen Indonesia tidak kompromi dalam hal komunikasi, bahan makanan dan layanan keuangan.

“Masyarakat Indonesia tidak mau menurunkan konsumsi komunikasi itu sudah sejak dulu,” kata Managing Director Nielsen Indonesia Agus Nurudin, Selasa (11/11/2015). Ibaratnya mereka rela memotong uang makan ketimbang mengurangi jatah potong pulsa.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai telekomunikasi menjadi salah satu komoditas yang ‘menyandera’ masyarakat Indonesia. Pulsa, yang bersanding dengan beras dan rokok sebagai komoditas yang membuat rakyat gerah.

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, merunut data BPS, pendapatan masyarakat miskin, mayoritas dihabiskan untuk membeli beras, rokok, dan pulsa. Tulus mengatakan, pulsa menjadi candu. “Fenomena yang agak mengerikan. Alokasi pendapatan (masyarakat Indonesia) habis untuk beli pulsa,” katanya. (ar)

Share :