ragamlampung — Rekomendasi politik partai-partai pengusung sangat memengaruhi konstelasi politik lokal. Pemilihan kepala daerah tahun depan tak terlepas dari berbagai kepentingan elite lokal dalam mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik.
Faktor petahana bagi partai politik menjadi sangat strategis karena ketokohannya telah tertanam di memori publik. Apalagi jika petahana yang didukung partai juga memiliki prestasi dan kerja nyata di masyarakat.
Di tingkat provinsi, misalnya, memenangkan Saefullah Yusuf di Jawa Timur jauh lebih mudah ketimbang calon lain. Di tingkat kabupaten misalnya, mendukung Hanan Rozak dan Heri Wardoyo di Pilkada Tulang Bawang, misalnya, jauh lebih strategis bagi partai daripada mendukung calon lain yang kemenangan sangat diragukan.
Demikian dikemukakan pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi, Kamis (18/8/2016). Ia melihat ada simbiosa mutualisma antara petahana dengan partai politik. Petahana membutuhkan ruang untuk kepastian kemenangan, apalagi berasal dari partai yang jelas-jelas mempunyai kekuatan riil di lapangan. Sementara partai politik membutuhkan figur yang kokoh untuk menjalankan visi misi partai.
Sedangkan pengamat komunikasi politik dari Pascasarjana Universitas Bina Nusantara Jakarta, Dr Muhammad Aras, mengatakan penguasa partai politik di daerah kerap membuka terjadinya transaksi politik bahkan memungkinkan terjadi nepotisme dalam pencalonan kepala daerah.
“Masyarakat kita sangat sensitif dengan isu-isu nepotisme apalagi korupsi dan kolusi. Wajar kalau ada calon yang terindikasikan KKN, pemilih akan jengah dan positioning partai untuk investasi politik di Pemilu 2019 jeblok,” ujarnya.
Ia menilai, pilkada serentak masih diwarnai dengan aroma nepotisme di beberapa daerah. Misalnya, kerabat terpidana kasus korupsi mantan Gubernur Banten Ratu Atut masih berlaga di Pilkada Gubernur Banten. (ar)
Leave a Reply