ragamlampung.com – Pemilihan kepala daerah khusus ibukota Jakarta merupakan pertarungan Megawati Soekarnoputri , Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo Subianto.
Cara penentuan pasangan calon yang bertarung dalam pilkada DKI sekaligus menggambarkan dominannya pengaruh Prabawo Subianto di poros Kertanegara dan Susilo Bambang Yudhoyono di poros Cikeas. Sulit membayangkan poros Kertanegara akan menampilkan Anies Baswedan menjadi calon gubernur tanpa ada peran dari Prabowo. Semula, Sandiaga yang diplot sebagai calon gubernur, bukan sebaliknya.
Di kubu Cikeas, pengaruh SBY yang besar terlihat daru tampilnya Agus Harimurti yang masih berpangkat mayor dan minim pengalaman politik. Di PDIP, Megawati juga menjadi figur sentral yang membelokkan haluan partai ini untuk menyokong Ahok-Djarot.
Dari peta diatas, menunjukan minimnya kader partai politik yang dijagokan. Bahkan sejumlah partai politik baru menentukan calon pada hari tenggat pendaftaran dan dilakukan secara terburu-buru lewat serangkaian lobi serta kasak kusuk hingga Subuh.
Pasangan Agus-Sylviana ditentukan dalam rapat di rumah SBY di Cikeas, Bogor, yang berlangsung hingga Jumat, 23 September, dini hari. Pasangan ini langsung diumumkan saat itu juga setelah kubu Cikeas gagal membujuk Gerindra dan PKS untuk ikut berkoalisi.
Pasangan Anies-Sandiaga bahkan lahir dari proses yang lebih alot lagi. Pasangan ini baru diumumkan pada Jum’at malam, hanya beberapa jam sebelum tenggat pendaftaran. Bahkan dikabarkan sebelumnya Anies sempat ditawari sebagai calon wakil gubernur, tapi ia menolak.
Gejala ini sudah lama terjadi. Partai politik seolah kehilangan kepercayaan diri. Golkar yang sering menjagokan kadernya sendiri menelan kekalahan di banyak pilkada. Sebaliknya PDIP justru meraih banyak kemenangan dengan menjagokan tokoh dari luar partai. Dari sekitar 150 pasangan calon kepala daerah yang disodorkan PDIP pada pilkada 2009, misalnya, hanya sekitar 20 persen yang merupakan kader partai.
Mengusung figur dari luar partai sebetulnya sah sah saja. Hanya, langkah ini semestinya dilakukan secara sistematis dan disiapkan sejak dini. Partai seharusnya pula menyiapkan dana untuk kampanye calon, dan bukannya malah meminta mahar dari calon yang diusung. Partai-partai juga cenderung menyokong calon yang memiliki banyak duit atau incumben. Calon incumbent dianggap memiliki modal atau setidaknya mempunyai pengaruh untuk mengumpulkan penyumbang.
Pilkada DKI merupakan barometer politik nasional. Dua tahun lalu, PDIP berhasil memenangi pemilu legislatif dan pemilihan presiden setelah berjaya dalam pemilihan gubernur DKI 2012. Pilkada DKI juga amat penting karena merupakan ujian bagi kematangan demokrasi: sejauh mana rakyat bisa meninggalkan sentimen primordial seperti agama dan ras. Pada pilkada DKI 2014, masalah ini belum terlalu teruji lantaran yang menjadi figur sentral tetap Jokowi, bukan Ahok.
Peluang tetap terbuka lebar, terutama bagi pasangan Anies-Sandiaga, yang cukup populer untuk mengalahkan Ahok. Sang incumbenr memang cukup berhasil mengubah Jakarta—mulai dari penataan birokrasi, pembenahan bantaran Sungai Ciliwung hingga proyek angkutan cepat terpadu. Tapi tingkat elektabilitas Ahok sejauh masih di bawah 50 persen dalam sejumlah survei.
Survei Poltracking Indonesia pada 6-9 September 2016, misalnya, menunjukkan Ahok paling populer, paling disukai, tapi tingkat elektabilitasnya hanya 40,77 persen. Sedangkan elektabilitas Anies Baswedan 8,92 persen. Untuk popularitas, Ahok mencapai 92,56 persen, Djarot 59 persen, Anies Baswedan 71,79 persen, dan Sandiaga 64,10 persen. Adapun nama Agus Yudhoyono dan Sylviana belum masuk survei. (toni)
Leave a Reply