ragamlampung.com — Negara paling kuat di dunia, Amerika Serikat, tengah memilih presiden baru. Bagaimana sistem pemilihan presiden di negara tersebut?
Secara teknis untuk bisa mencalonkan diri menjadi presiden, seseorang harus ‘terlahir sebagai warga negara AS’, berusia setidaknya 35 tahun, dan telah bermukim di AS selama 14 tahun.
Sejak tahun 1933, hampir semua presiden yang terpilih sebelumnya menjabat sebagai gubernur, senator, atau perwira tinggi militer. Syarat lain ‘yang tidak tertulis’ adalah termasuk tokoh nasional dan menjadi sumber media.
Tentu saja, untuk bisa menjadi capres, seseorang harus mendapat dukungan dari partai.
Dalam pilpres 2016, ada 10 gubernur dan calon gubernur dan 10 anggota dan mantan anggota senat. Mereka ini menjalani tahapan, sehingga yang tersisa adalah Hillary Clinton yang didukung Demokrat dan Donald Trump yang mendapat sokongan Republik.
Serangkaian pemilihan digelar di setiap negara bagian, yang dimulai pada Februari, untuk menentukan siapa yang akan menjadi calon presiden dari setiap partai.
Pemenang akan mendapatkan sejumlah anggota partai (biasa disebut delegates) yang punya kewenangan memilih dan menentukan capres di konvensi partai yang digelar pada Juli. Pada konvensi ini pula calon resmi diumumkan.
Semakin makin banyak menang di negara bagian, makin banyak diperoleh delegates di konvensi, yang pada akhirnya meningkatkan kans untuk terpilih sebagai capres resmi.
Hillary Clinton dan Donald Trump menang besar di rangkaian pemilihan dan secara resmi menjadi capres Demokrat dan Republik Juli lalu.
Di konvensi ini, partai juga menentukan cawapres, yaitu Senator Tim Kaine yang menjadi pendamping Clinton Gubernur Indiana, Mike Pence, yang menjadi cawapres bagi Trump.
Kontroversi ‘tak pernah sepi’ menerpa kubu Trump, bahkan mulai sejak pengusaha New York ini mengumumkan diri maju di pilpres. Ia di antaranya menggambarkan imigran Meksiko sebagai ‘pemerkosa dan penjahat’.
Tak semua pemilih mencolos pada 8 November 2016, sekitar 42 juta orang memutuskan mencoblos lebih awal, seperti yang terjadi di Los Angeles.
Berbagai komentar yang ia keluarkan memicu ‘perang kata-kata’ dengan hakim, peserta kontes Miss Universe, penyiar Fox News, dan orang tua seorang tentara Muslim yang gugur dalam perang di Irak.
Ia juga harus memberikan penjelasan mengapa menolak mengumumkan data pembayaran pajak dan mengapa ada tudingan bahwa ia tak membayar pajak pendapatan selama 18 tahun.
Hillary Clinton sementara itu, juga menghadapi persoalan serius, terutama terkait dengan email-email saat menjadi menteri luar negeri dan soal sumbangan asing ke Yayasan Clinton.
Dan soal Wikileaks yang membocorkan beberapa ‘pembicaraan memalukan’ di antara anggota tim kampanyenya.
Kejutan terbesar yang mengguncang Trump adalah publikasi video yang direkam pada 2005 di mana Trump berbicara tentang perempuan-perempuan dengan menggunakan kata-kata yang melecehkan.
Ia kemudian meminta maaf dan menegaskan bahwa video tersebut ‘tidak mencerminkan Trump yang sebenarnya’.
Video ini memicu puluhan tokoh Republik meninggalkan Trump sekaligus menyebabkan ‘perang saudara’ di partai tersebut.
Kejutan juga terjadi di kubu Clinton ketika 11 hari menjelang pemungutan suara, FBI mengumumkan telah menemukan email-email lain yang terkait penyelidikan mereka.
Email ini ditemukan di laptop milik suami salah satu penasehat inti Clinton, Huma Abedin, yang tersangkut kasus yang saat ini ditangani polisi.
Suami Abedin diduga mengirim teks berisi kata-kata vulgar kepada gadis berusia 15 tahun.
Pilpres menggunakan sistem yang biasa disebut electoral college yang pada intinya adalah sekelompok orang yang memilih pemenang. Jumlahnya 538 dan untuk menjadi presiden seorang calon harus mendapatkan setidaknya 270.
Setiap negara bagian punya jumlah ‘elector’ yang didasarkan pada populasi. Ketika seseorang mencoblos, sebenarnya yang mereka pilih adalah elector ini. Elector ini sudah diketahui posisinya, apakah akan memilih Clinton atau Trump.
Yang menarik adalah, di hampir semua negara bagian (Kecuali Nebraska dan Maine), berlaku prinsip the winners takes all yaitu pemenang akan mendapatkan semua jumlah elector di negara bagian tersebut. Misalnya, pemenang di New York akan mendapatkan 29 electoral votes.
Untuk mendapatkan 270, hasil di negara-negara bagian yang berpotensi dimenangkan baik oleh Demokrat atau Republik, biasa disebut swing state, sering kali menjadi penentu hasil pilpres. (bbcindonesia/ar)
Leave a Reply