ragamlampung.com — Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) kecewa dengan keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai industri hasil tembakau dan memangkas kuota produksi rokok tangan tahun depan.
Dengan kebijakan seperti itu, petani tembakau akan menjadi pihak yang paling dirugikan, dan sebaliknya pemerintah akan semakin dominan menyerap hasil penjualan rokok oleh pabrikan.
“Selama kurun dua-tiga tahun terakhir tren sudah produksi turun. Kalau terus ada kebijakan seperti ini, dikhawatirkan justru akan semakin memperparah,” ujar Ketua AMTI Budidoyo, Jumat (7/10/2016).
AMTI, kata Budidoyo, memang dilibatkan dan dimintai pendapat oleh pemerintah ketika merancang kebijakan cukai rokok 2017. Namun, ia kecewa karena keputusan akhirnya tidak sesuai dengan harapan para pelaku industri tembakau.
“Kami maunya (cukai naik) 5-6 persen atau maksimal 7 persen sesuai dengan inflasi,” tuturnya.
Meskipun tarif cukai untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan III tidak dinaikan, ujar Budidoyo, tetapi tetap memberatkan pabrikan kecil untuk bisa bertahan karena dari sisi produksi dipangkas signifikan.
Sementara untuk perusahaan rokok besar yang memproduksi menggunakan mesin, meskipun kenaikan cukainya paling tinggi tetapi mereka tetap diberi nafas karena kuota produksinya ditingkatkan cukup signifikan.
Petani tembakau akan semakin tersudutkan ke depannya jika kenaikan cukai yang tinggi diikuti dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti yang diwacanakan. Budidoyo mendengar, pemerintah akan menaikkan tarif PPN rokok, dari selama ini 8,7 persen menjadi 10 persen dari harga jual eceran (HJE).
AMTI menilai pembatasan produksi dan kenaikan tarif cukai bukanlah alat kebijakan yang efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Pasalnya, semakin kebijakan dibuat ketat dan memberatkan pabrikan rokok, maka akan menumbuh-suburkan pasar rokok ilegal.
Berdasarkan kajian Universitas Gajah Mada (UGM), kata Budidoyo, total rokok yang diproduksi dan beredar di Indonesia setiap tahunnya hampir 350 miliar batang. Dari estimasi tersebut, sekitar 11 persen atau hampir 40 juta miliar batang yang dipasarkan merupakan rokok ilegal.
“Rokok itu inelastis. Kalau konsumen tidak dapat rokok yang harganya sesuai dengan kantong mereka, maka mereka akan mencari rokok yang murah dan itu yang potensial ilegal,” jelasnya.
Budidoyo mengatakan, pemerintah adalah pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan industri rokok saat ini. Menurutnya, sekitar 70 persen dari hasil produksi dan penjualan rokok masuk ke kas negara melalui pungutan cukai dan pajak.
“Hanya sekitar 30 persen (dari hasil penjualan rokok) yang untuk pabrik, petani, peritel. Dan itu masih dikurangi macam-macam,” tuturnya, dilansir cnn indonesia.
Untuk setiap batang rokok yang dikonsumsi publik, terdapat struktur pajak berlapis yang dibebankan ke produsen dan konsumen. Rinciannya, cukai sekitar 56-57 persen dari HJE, PPN sebesar 8,7 persen dari HJE, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) 10 persen dari cukai.
“Jadi, kalau ditotal dengan PPh (pajak penghasilan) itu 70 persen (hasil penjualan rokok) dinikmati oleh pemerintah,” katanya. (ar)
Leave a Reply