ragamlampung.com — Ketua Majelis Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin menilai, ada masalah lebih besar di balik kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan calon Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah itu mengatakan, Ahok memang sudah minta maaf dan harus dimaafkan, dengan syarat tidak mengulangi lagi.
Tapi, ada permasalahan yang lebih besar dari kejadian di Kepulauan Seribu. “Bahkan ancaman nyata, yaitu fakta adanya ‘kekuatan uang’ (the power of money) yang tengah menguasai Indonesia,” kata Din, yang dilansir dari Suara Muhammadiyah, Selasa (8/11/2016).
Pernyataan Din itu disampaikan dua hari menjelang kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kantor PP Muhammadiyah Jakarta yang rencananya dilakukan Selasa ini.
Din menilai, cengkeraman kekuatan uang itu, bagaikan naga raksasa yang sedang melilit NKRI yang kaya raya. “Satu-persatu kekuatan penghalangnya dilumpuhkan bahkan dimatikan dengan uang. Proses ini tidak terlepas dari perkembangan geopolitik dan geoekonomi global dan regional,” katanya.
Dia menyayangkan, Indonesia tidak memiliki mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism). Ini dibuktikan dengan infrastruktur nasional yang rapuh, mulai dari pemerintah, partai politik, ormas, sampai pers. Semua komponen itu banyak terdiri dari orang-orang lemah baik iman, akal pikiran dan komitmen kerakyatan.
“Hal ini akan membawa Indonesia mengalami malapetaka dan terjatuh dalam nestapa. Kasus Ahok tidak kecil. Terlalu mahal harganya untuk dibiarkan tumbuh, karena akan menjadi kanker yang merusak integrasi dan harmoni bangsa,” ujar Din.
Untuk kasus ujaran Ahok di Kepulauan Seribu, Din menilainya sebagai bentuk intolerasi dan rendahnya kadar tenggang rasa. “Akar tunjang permasalahan harus diamputasi. Dan solusi terbaik adalah penegakan hukum yang berkeadilan. Sekali lagi yang berkeadilan. Kalau tidak, maka yakinilah Allah Swt Maha Adil. Dia akan menetapkan keadilan-Nya, kini-di sini atau nanti-di sana,” katanya.
Tapi, kata dia, kasus Ahok perlu dilihat secara komprehensif, tidak cukup dengan analisis kacamata kuda tentang ujarannya di Pulau Seribu apalagi berhenti pada alasan semantik belaka.
“Hal itu pun tidak perlu diperbalahkan (bantah), karena jelas dia memberi penilaian (judgement) terhadap pemahaman orang lain dengan kata pejoratif,” ujar Din. (ar)
Leave a Reply