ragamlampung.com — Penelitian di Inggris baru-baru ini menunjukkan bahwa kaum ibu yang bekerja sebagai penjaja seks, jumlahnya signifikan. Mereka mendidik dan mengasuh anak sambil menjalani profesi abnormal itu.
Seorang pekerja seks, Sherri (42) dari Essex menuturkan, ia sudah menjajakan seks kepada kaum pria selama dua dekade terakhir. Ia bekerja sebagai seorang penari telanjang, di rumah bordil, dan bergabung dengan jasa penyedia perempuan-perempuan penghibur. Namun, ia tetap merahasiakannya dari sang anak yang berumur 12 tahun.
Kehidupan ganda yang ia jalani direncanakan dengan cermat. Ia mengatakan kepada anaknya bahwa ia bekerja sebagai resepsionis teater serta menjelaskan jam kerjanya. Ia pun tidak pernah telat pulang karena khawatir pengasuh anaknya curiga.
“Saya tahu banyak anak-anak berbalik melawan orangtuanya saat mereka mengetahui pekerjaan yang sebenarnya,” jelasnya. “Saya ngeri kalau harus menghadapi hal semacam itu.”
Sherri sudah pernah bekerja di rumah bordil dan sebagai perempuan penghibur, namun ia mengaku lebih memilih untuk bekerja di sebuah flat bersama temannya.
Diperkirakan ada sekitar 72.800 pekerja seks di Inggris dan mayoritasnya adalah perempuan. Jumlah terbesar perempuan penjaja seks itu adalah kaum ibu, kendati makin banyak perempuan lajang atau tanpa anak yang memasuki industri seks, tutur sosiolog Profesor Teela Sanders dari Universitas Leicester.
Kelompok advokasi English Collective of Prostitutes menyatakan bahwa ‘sebagian besar pekerja seks adalah kaum ibu’ dan mendukung sebuah film pendek dan gerakan kampanye media sosial menuntut penghapusan pidana bagi para pekerja seks berjudul Make Mum Safer.
Banyak dari para ibu memutuskan untuk menjajakan seks, dengan alasan sederhana: uang.
Sherri, yang mendukung organisasi ECP ini, baru berusia 20 tahun saat pertama kali memulai bekerja di rumah bordil di London, ia ‘terkejut’ dengan gajinya yang minim saat ia menjadi pekerja kantoran.
Saat ia menjadi sekretaris, ia hanya digaji 15.000 pound sterling per tahun -belum termasuk potongan pajak- tapi di rumah bordil ia mengatakan bisa menghasilkan uang jauh lebih banyak hingga 100 pound sterling (atau sekitar Rp1,6 juta) per malam.
Saat ia baru mempunyai anak, ia bekerja sebagai perempuan penghibur, mengunjungi kaum pria di rumah-rumah atau hotel mereka.
Ia menyadari bahaya pekerjaannya, setelah dua kali dikunci oleh kliennya yang agresif dan ia juga tahu pernah ada rekan seprofesinya yang diserang. Tapi, ia kini memiliki klien tetap. Dan ia membandingkan pekerjaannya dengan pekerjaan lainnya, seperti menjadi pemadam kebakaran, yang menurutnya berbahaya juga.
“Anda menilai bahaya itu dengan membandingkan antara pendapatan dan kemampuan Anda.”
Namun, tak jarang para pelacur ini mengalami serangan. Diperkirakan ada 152 pekerja seks dibunuh antara tahun 1990 dan 2015, sementara ada lebih dari 280 laporan perkosaan yang dihimpun oleh skema perlindungan National Ugly Mugs sejak tahun 2012.
Banyak insiden yang tidak dilaporkan oleh para pekerja seks karena mereka khawatir akan dipidanakan.
Bagi Sherri pendapatan adalah hal penting. Ia mampu untuk mengundang teman-teman dan anak-anak mereka untuk makan malam dan memiliki segala yang diperlukan di hari Natal.
Seorang peneliti, Profesor Sanders mengatakan, layanan-layanan sosial terkadang menganggap anak-anak dari para pekerja seks ini berisiko secara inheren.
Tapi, penelitiannya menunjukkan para ibu cenderung memisahkan pekerjaan mereka dari anak-anak mereka, dengan memiliki dua ponsel dan memiliki klien yang rumahnya jauh dari tempat tinggal mereka.
Jenny adalah salah satunya. Kurun waktu lebih dari 30 tahun malang melintang di industri seks di Inggris utara, ia tidak pernah membawa klien ke rumahnya, yang ditempati oleh putrinya yang cacat.
Jenny, yang kini berusia sekarang 60-an, memasuki dunia prostitusi saat ia ‘putus asa’ dengan kondisi putrinya yang cacat saat ia baru berusia 18 tahun.
Meski ia mendapat tunjangan dari pemerintah, namun hanya cukup untuk membayar makanan dan sewa rumah dan tidak cukup untuk membayar gaji perawat anaknya sebesar 1.000 pound sterling (atau sekitar Rp16 juta) per minggu.
Ia menolak untuk menyebutkan berapa bayaran yang ia peroleh dari para pria yang ia temui di jalanan dan ataupun panggilan ke rumah mereka. Tapi ia menambahkan penghasilan serta pekerjaannya cukup fleksibel.
Sherri optimistis bahwa kebijakan dan sikap akan berubah serta berencana untuk memberitahu anaknya tentang pekerjaannya saat ‘kecenderungan penghakiman’ terhadap para pekerja seks berkurang.
“Saya harap ia akan bangga pada saya, bahwa ibunya sukses,” katanya. (bbc/ar)
Leave a Reply