ragamlampung.com,Bandarlampung – Pergantian tahun 2019 seolah-seolah mengendapkan banyak persoalan di Lampung, namun ibarat api dalam sekam, persoalan cukup banyak, dari mulai infrastruktur, pertanian, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain. Hal ini disampaikan Anggota DPD RI Andi Surya, Senator Lampung, ketika dimintai pendapat terkait memasuki gerbang 2019.
“Akhir tahun ini kita ditandai oleh musibah tsunami di Lampung Selatan yang membuat psikologi masyarakat terhentak. Lampung yang damai tiba-tiba saja mendapat musibah. Namun dibalik itu ada persoalan konflik agraria yang masih mengintip dan mendera warga Lampung,” ucap Andi Surya.
Dirinya menguraikan, Pertama, konflik terkait Hak Penguasaan Lahan (HPL) atas nama Pemprov Lampung di Way Dadi dan sekitarnya serta HPL milik PT. Pelindo di Way Lunik Panjang.
“Perihal HPL ini sudah diuraikan dalam rapat dengar pendapat di Komite 1 DPD RI yang menyatakan bahwa kedua HPL ini dilepas kepada masyarakat dengan terlebih dahulu dikembalikan kepada Negara, tidak bisa dipindah-tangankan ke pihak lain dengan alasan memperkuat sektor penerimaan daerah untuk APBD atau kas BUMN karena ini tidak diatur dalam UU dan Peraturan Pemerintah dan bisa berakibat hukum di belakang hari,” sebutnya.
Kedua, dirinya menyebutkan tentang lahan Grondkaart bantaran rel KA yang diklaim PT. KAI.
“Ini juga berkali-kali sudah dibahas oleh DPD RI, hingga pada kesimpulan bahwa Grondkaart bukan alas hak kepemilikan PT. KAI karena tidak sesuai dengan UU Pokok Agraria, UU Perkertaapian hingga PP Penyelenggaraan Perkeretaapian yang menyatakan lahan milik KA sebatas 6 meter kiri dan kanan rel saja. Artinya secara UU Pokok Agraria lahan bantaran rel KA dikuasai warga masyarakat yang telah menempati lebih dari 20 tahun. Selain itu Grondkaart yang dipegang PT. KAI adalah salinan, aslinya masih dikuasai Ratu Belanda, sehingga PT. KAI tidak memiliki kekuatan hukum apa pun terkait Grondkaart.
Ketiga adalah persoalan lahan register yang telah ditempati ratusan ribu warga masyarakat. Register ini adalah peraturan zaman Belanda yang mengatur wilayah nusantara sebagai hutan yang tidak boleh dihuni manusia. Namun di saat RI merdeka terjadi pertumbuhan demografi secara dinamis sehingga batas-batas register itu sudah tidak kontekstual lagi oleh karena ruang hidup semakin sempit.
“Perlu terobosan UU agar wilayah register bisa menjadi pemukiman warga. Jangan sampai kita terbelenggu oleh warisan aturan Belanda yang lebih mengutamakan satwa liar atau tetumbuhan hutan yang secara faktual sudah dihuni manusia warga negara Indonesia dan bahkan di dalamnya sudah ada infrastruktur yang dibiayai negara. Aturan wilayah register perlu dirubah karena telah berproses ke arah ruralisasi bahkan urbanisasi yang progresif,” jelas Andi Surya.
Yang terakhir, lanjutnya, rawan konflik agraria adalah menyangkut Hak Guna Usaha (HGU) yang dikuasai oleh BUMN maupun perusahaan swasta.
“Problemnya adalah penyerobotan lahan ulayat, hak adat bahkan hak milik rakyat oleh pemegang HGU akibat tidak tertatanya administrasi lahan yang benar. Pemegang HGU seenak udel-nya menggeser batas wilayah merampas lahan rakyat secara masif yang akibatnya mendapat perlawanan warga masyarakat secara horizontal. Ini terjadi di beberapa titik wilayah Lampung, sangat berbahaya dan mengganggu keharmonisan, ketertiban dan keamanan daerah dan nasional,”papar Surya.
Saran Andi Surya, perlu ada kesungguhan baik pemerintah pusat dan daerah, kalangan parlemen serta tokoh-tokoh masyarakat untuk menyelesaikan konflik lahan ini terutama melakukan perubahan UU khususnya peraturan agraria yang lebih kontekstual, selanjutnya diperlukan pembentukan pengadilan khusus agraria yang hakim-hakimnya profesional ahli hukum agraria agar keputusan konflik lahan tetap mengacu pada hukum tanah.
“Yang perlu diingat adalah, sesuai UUD45 pasal 33 ayat 2 disebutkan; tanah, air, udara dan yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya, mari kita hormati hak agraria warga masyarakat,” tutup Andi Surya. (rls/dr).
Leave a Reply