ragamlampung.com — Decak kagum dan sorak penonton bergemuruh meriah sepanjang jalan. Mereka menyoraki sebuah atraksi menegangkan, tapi mampu membuat semua mata tertuju kepada pemainnya.
“Wah! Diiris pakai pisau nggak berdarah?! Kok bisa?!” Kalimat tersebut biasanya terucap bagi yang pertama kali melihat pertunjukannya.
Debus, itu namanya. Satu kesenian khas Banten yang memang memiliki tingkat bahaya yang tinggi. Bagaimana tidak. Kesenian ini bermain-main dengan maut. Mulai dari diiris dengan pedang sampai mengunyah pecahan kaca.
Hal-hal tersebut merupakan kegiatan yang tidak semua orang bisa. Hal-hal di luar akal sehat yang mereka lakukan jelas memukau para penonton.
Pertunjukan berbahaya ini tak sembarang dimainkan oleh orang. Pemainnya harus mempersiapkan banyak hal terlebih dahulu
Mereka yang sudah terlatih bermain debus harus mempersiapkan banyak hal sebelumnya. Mulai dari mempersiapkan perlengkapan seperti parang hingga linggis. Sampai persiapan mental dan fisik dari pemain debusnya. Biasanya, ada beberapa pantangan yang harus dijauhi seminggu hingga dua minggu sebelum pementasan berlangsung.
(1) tidak boleh minum-minuman keras
(2) tidak boleh berjudi
(3) tidak boleh mencuri
(4) tidak boleh tidur dengan isteri atau perempuan lain
dan lainnya.
Kalau dilihat, pantangan tersebut itu adalah bukti bahwa debus ternyata mengajarkan kebaikan bagi warga Banten.
Orang awam mungkin akan mengira bahwa debus itu identik dengan hal-hal berbau mistis dan klenik. Namun, nyatanya ritual debus tak mencerminkan klenik sama sekali. Umumnya, setiap atraksi debus memang diawali dengan menembangkan lagu-lagu tradisional atau yang biasa disebut gembung.
Setelah gembung berakhir, dilanjutkan pembacaan zikir serta macapat yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Tujuannya adalah agar mendapat keselamatan selama mempertunjukkan debus.
Kalau mau menilik ke belakang, debus ternyata sangat identik dengan agama Islam. Utamanya pada masa persebaran agama Islam di nusantara dan tanah Jawa. Konon, kesenian yang disebut sebagai debus ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah yang dibawa oleh Nurrudin Ar-Raniry ke Aceh pada abad ke-16. Sebuah tarikat yang mengutamakan kekhusyukan beribadah dan memfokuskan semuanya atas kehendak Allah.
Di Banten, debus membantu menyebarkan Islam dari doa-doa yang diambil dari ayat suci Al-Qur an sebagai jampi-jampi untuk kekebalan tubuh. Berbekal, “La haula walla Quwata ilabillahil ‘aliyyil adhim” atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata, para pemain debus memasrahkan semuanya atas izin Allah SWT untuk mendapat kekebalan dari senjata tajam.
Setelah melalui kurun waktu ratusan tahun, debus sudah semakin akrab bagi warga Banten. Bahkan kalau kita yang bukan warga Banten mendengar kata ‘debus’, pasti langsung ingat Banten. (ar)
Leave a Reply