ragamlampung.com — Bahwa secara realitasnya, politik dipandang “buruk” oleh sebagaian masyarakat. Karena politik diidentikan mencari dan merebut kekuasaan. Acapkali kita dengar pemahaman di masyarakat bahwa politik itu kotor.
Politik dipandang sebagai upaya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Seperti teorinya Niccolo Machiavelli (Il Principe/1513) yang melahirkan para pemimpin diktator. Ada lagi ujaran yang sering digaungkan dan sepertinya menjadi dasar gerak politikus: Tiada yang abadi, yang abadi adalah kepentingan!
Nampaknya isu politik “kotor” sangat ampuh, terbukti masyarakat dengan mudahnya percaya dan yang lebih mirisnya lagi mahasiswa yang idealis, kritis, dan progresif ikut-ikut termakan isu tersebut yang pada akhirnya apriori bahkan skeptis dan apatis.
Apakah politik yang luhur itu hanya untuk merebut kemerdekaan saja? Apakah setelah merdeka politik yang luhur itu luntur dan menguap, hilang begitu saja? Apakah setelah merdeka, para elit politik lantas “berjuang” meraih kekuasaan untuk kemudian berlaku zalim, bertingkah sekehendak hati berdasarkan hawa nafsunya, karena kekuasaan sudah ditangan? Jika demikian, lalu apa bedanya mereka dengan si penjajah yang pernah ditentang itu?
Apakah upaya melahirkan dasar negara, pembukaan dan pasal-pasal konstitusi negara itu bukan suatu langkah politik? Dan apakah upaya itu tipu muslihat? Apakah berperang dan mati terbunuh untuk merebut kemerdekaan itu bukan karena tujuan politik? Apakah mewujudkan dan memelihara NKRI itu bukan politik? Apakah upaya mewujudkan UUD negara dengan jujur dan iklas demi keadilan dan kesejahteraan rakyat itu bukan politik? Dan apakah itu kelicikan?
Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik diperlukan untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat, terwujudnya rasa keadilan dan pemerataan pembangunan, dan lain-lain.
Selain isu-isu yang bersifat negatif, mengikisnya kepercayaan publik terhadap sistem pemilu disebabkan oleh banyaknya para calon setelah jadi atau terpilih lupa dengan janji-janji kampanyenya dan bahkan semakin jauh dari masyarakat. Akhirnya semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap para calon dan berimplikasi terhadap rendahnya pertisipasi pemilih dalam memberikan hak pilihnya.
Apakah dengan pikiran yang sempit itu kemudian kita dengan sukarela menyerahkan kepada mereka-meraka yang tidak ingin melihat bangsa kita maju? Apakah setelah memilih, kita hanya melihat dan menunggu apa yg akan dilakukan pemimpin? Menunggu dan pasrah begitu saja sampai negara hancur dan rakyat menderita seperti kembali ke zaman penjajah?
Apakah penderitaan itu sama halnya dengan hidup di zaman jahiliyah? Bila hal itu terjadi, maka eksitensi kita sebagai manusia patut diragukan! Karena eksistensi manusia adalah berbuat selalu untuk mencapai kebahagian di dunia dan kesempurnaan di akhirat. Esensi dimaksud adalah dari apa kemudian menjadi apa.
Dari realitas pemahaman “sempit” mengenai politik, akhirnya memunculkan fenomena golongan putih (golput). Golput mulai dekenal saat menjelang Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama Orde Baru, pencentus istilah “golput” adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara diluar gambar peserta pemilu.
Istilah golput kembali populer menjekang pemilu 2009. Seorang tokoh nahdliyin yang notabene mantan presiden RI ke-4 menyerukan kepada pendukungnya untuk golput. Seruan golput tersebut disebabkan dimenangkannya PKB versi Muhaimin iskandar oleh pemerintah dan PKB versi Gusdur tidak bisa mengikuti Pemilu 2009.
Menurut Hadar Nafis Gumay (komisioner KPU RI), Golput adalah orang yang protes terhadap pilkadanya, orang yang beranggapan bahwa pilkada ini tidak ada gunanya, atau orang yang menganggap pasangan calon itu sebagai masalah sehingga dia tidak mau datang ketempat pemungutan suara (TPS) kalaupun dia datang tetapi memastikan suaranya tidak sah.
Fenomena golput dari pemilu ke pemilu dan pilkada ke pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung) mengalami tren yang terus meningkat. Angka partisipasi pemilih sangat rendah. Fenomena golput muncul disebabkan oleh ketidakpercayaan pemilih terhadap sistem pemilu dan politik; ketidak percayaan pemilih terhadap calon/parpol; dan rendahnya sosialisasi yang dilakukan penyelenggara dan peserta pemilu.
Sistem demokrasi langsung sudah menjadi pilihan bangsa, mau tidak mau harus dihadapi. Dari segi undang-undang sebagai produk hukum “sudah” baik. Jika sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan oleh suatu badan di bawah Depertemen Dalam Negeri yang anggotanya merupakan perwakilan partai poitik.
Dan pemilihan bupatinya masih sistem ditunjuk, dipilih oleh DPRD. Semenjak amandemen UUD 1945, Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri (UUD 1945 pasal 22E Ayat (5)).
Perubahan-perubahan sistem politik demikian untuk penyempurnaan apa yang seharusnya menjadi format politik yang ideal yang dipakai indonesia. Sebagai negara kesatuan, Indonesia negara yang berbentuk republik (teori Montesquieu). Sistem yang dipakai adalah sistem presidensil.
Sebagai negara yang menganut ideologi pancasila, indonesia mengadopsi pemikiran Jhon Locke tentang sistem Trias Politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Sebagai konsekuensi dari mengadopsi sistem trias politica, maka indonesia manganut sistem demokrasi (demos-kratos/kekuasaan/kekuatan rakyat) kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. ketiga kekuasaan tersebut harus dipisah
Oleh karenanya, suara rakyat harus diselamatkan, ijtihad memberikan hak suara harus didorong, jangan lagi atas pilihan pragmatis yang membuat penderitaan sampai 5 tahun atau bisa saja lebih. Agar suara umat terjaga baik.
Proses demokrasinya berjalan secara prosedural dan substansi. pemilih harus disadarakan akan pilihan sadaranya (rasional), memberikan suaranya menjadi keharusan! Jangan pasrah begitu saja, karena suaranya merupakan hak politiknya dan diatur dalam undang-undang sebagai hak konstitusi.
Hak politik sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinanan-kemungkinan kreatif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan bertanggung jawab. usaha yang bebas dan bertanggung jawab itu dinamakan ikhtiar, artinya pilihan merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan merdeka dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditetukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi baik integral dan bebas, dan dimana manusia tidak diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginan sendiri dan kecintaanya kepada kebaikan.
Tanpa kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi bagi amal perbuatannya.
Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang mengubah dunia dan nasibnya sendiri. Pemilih merupakan hakim. Hakim yang menentukan pemimpin untuk mengatur pemerintahan yang didalamnya adalah masyarakat.
Dalam konteks pilkada langsung yang dimulai pada tahun 2004 tentunya setiap daerah sudah pernah melaksanakan pilkada langsung. Lampung misalnya, ada lima kabupaten yang menyelenggarakan pilkada serentak jilid II di tahun 2017.
Kelima kabupaten tersebut merupakan 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak jilid II di tahun 2017 ini. Dalam mencegah rendahnya partisipasi pemilih, KPU kelima kabupaten dimaksud telah melakukan berbagai macam cara sosialisasi guna meningkatkan partisipasi pemilih.
Mulai dari go to school ke sekolah-sekolah, road show ke tokoh-tokoh agama, gerebek pasar, dan sosialiasi di media massa cetak dan elektronik, sosialisasi ke ormas/OKP dan ke komunitas-komunitas anak muda dan pemilih difabel/kekurangan. Oleh sebab itu, diharapkan partisipasi pemilihnya bisa mencapai 85 persen melebihi target KPU RI sebesar 77 pesen. Alahua’lam bi shawab. (Reka Punatta: Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tulangbawang)
Leave a Reply