ragamlampung.com — Penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar lebih buruk daripada yang digambarkan media. Pers internasional telah bias dalam liputannya mengenai sebutan pembersihan etnis.
“Ini adalah tragedi lebih buruk dari apa yang CNN atau BBC gambarkan dengan yang telah pada orang-orang ini,” kata Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis, dikutip dari Time, Rabu (24/1/2018).
Sekitar 688.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017. Mereka melarikan diri dari serangan brutal militer Myanmar. Pengungsi menceritakan kekejaman termasuk pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra’ad Al-Hussein mengatakan, kekerasan tersebut menyerupai “contoh buku teks pembersihan etnis” dan dia tidak dapat mengesampingkan “unsur genosida.”
Pada bulan November 2017, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan, kekerasan “merupakan pembersihan etnis,” dan “tidak ada provokasi yang bisa membenarkan kekejaman telah terjadi.”
Militer Myanmar mengatakan operasi keamanan di Rakhine adalah kampanye kontra-pemberontakan.
Pemerintah Myanmar dan Bangladesh telah sepakat untuk mulai memulangkan ratusan ribu pengungsi Rohingya selama dua tahun ke depan, namun kelompok hak asasi manusia memperingatkan proses tersebut dimulai terlalu cepat, dan tanpa masukan memadai dari badan-badan PBB.
Sehingga berisiko memaksa pengungsi kembali melawan kemauan mereka. atau menghadapi kekerasan lebih lanjut.
Bangladesh mengatakan bahwa proses tersebut akan tertunda dari tanggal mulai yang dijadwalkan pada minggu ini.
Beberapa pengungsi mengeluarkan tuntutan seperti status kewarganegaraan, pertanggungjawaban dan pengembalian harta yang hilang sebelum menyetujui kembali ke Myanmar.
Lembaga pengungsi PBB, UNHCR belum terlibat dalam diskusi pemulangan, juga memperingatkan kondisi pengembalian tidak sesuai.
“Pengamanan yang diperlukan untuk calon pengungsi yang kembali tidak ada,” juru bicara UNHCR Adrian Edwards. (ar)
Leave a Reply