ragamlampung.com — Tragedi letusan gunung berapi Nevado del Ruiz, di Armero, Kolombia, sudah berlalu 33 tahun lalu. Tapi, masyarakat setempat mungkin akan selalu mengingatnya sampai kapan pun, karena tumpahan gunung menghancurkan seluruh kota, dan mengakibatkan kematian 25 ribu orang.
Pada 13 November 1985, letusan gunung Nevado del Ruiz menghasilkan aliran lumpur abu vulkanik bercampur dengan air. Puing-puing vulkanik bercampur dengan es mengubur dan menghancurkan seluruh kota Armero.
Peristiwa tragis ini dikenal tragedi Armero, bencana lahar paling mematikan dalam sejarah abad 20.
Dalam kejadian itu salah satu momen paling dramatis adalah gadis bernama Omayra Sánchez Garzón, kala itu berusia 13 tahun.
Sebelum letusan, Sánchez berada di rumah bersama ayahnya, Álvaro Enrique, saudara laki-laki Álvaro Enrique, dan bibinya, María Adela Garzón.
Ketika lahar terdengar mendekat ke desa, Sánchez dan keluarganya terbangun. Mereka panik dan berusaha menyelamatkan diri. Tapi, lahar lebih mengerikan dan sangat besar di luar imajinasi mereka.
Tak lama setelah mengubur rumah mereka, Sánchez terjebak di bawah potongan beton dan puing-puing yang datang dengan lahar. Ia tidak dapat membebaskan dirinya sendiri.
Beberapa jam kemudian dia ditutupi beton tapi namun tangannya berhasil menembus retak-retak. Ketika tim penyelamat datang dan seorang penyelamat memperhatikan tangannya yang menonjol dari tumpukan puing dan mencoba membantunya, mereka menyadari bahwa kakinya sangat terperangkap di bawah atap rumah besarnya.
Meskipun sudah datang puluhan bantuan dan personel, Sánchez tetap terjebak. Ia terjebak dari bagian pinggang hingga ke kaki.
Tim penyelamat membersihkan ubin dan kayu di sekeliling tubuhnya selama sehari. Begitu dibebaskan dari pinggang ke atas, tim penyelamat menariknya keluar, namun ternyata tidak mungkin melakukannya tanpa mematahkan kakinya.
Tiap kali seseorang menariknya, airnya naik sehingga dia akan tenggelam jika terus diangkat. Penyelamat tidak berdaya dan hanya bisa memasang ban di sekeliling tubuhnya untuk membuatnya tetap hidup.
Para penyelam menemukan kaki Sánchez terperangkap di bawah pintu yang terbuat dari batu bata.
Meskipun keadaannya sulit, Sánchez berusaha tetap ceria, meminta makanan, minum, dan setuju diwawancarai.
Tapi, lama kelamaan dia ketakutan, berdoa atau menangis. Pada malam ketiga, dia mulai berhalusinasi. “Saya tidak ingin terlambat masuk sekolah” dan menyebutkan sebuah ujian matematika.
Menjelang akhir hayatnya, mata Sánchez memerah, wajahnya membengkak, dan tangannya memutih. Suatu waktu dia meminta orang-orang meninggalkannya agar bisa beristirahat.
Beberapa jam kemudian para penyelamat kembali dengan sebuah pompa dan mencoba menyelamatkannya, tapi kakinya makin terjepit di bawah beton.
Tidak mungkin membebaskannya tanpa memutuskan kakinya. Karena tidak memiliki peralatan bedah memadai untuk menyelamatkannya, petugas medis tidak berdaya. Memutuskan membiarkannya mati karena akan lebih manusiawi.
Sánchez menghabiskan hampir tiga malam (lebih dari 60 jam) sebelum meninggal sekitar pada 16 November. Kematiannya kemungkinan besar akibat hipotermia. (ar)
Leave a Reply