ragamlampung.com — Pemilihan presiden (Pilpres) Perancis menjadi tontonan serba tidak pasti, karena kandidat tak terduga tiba-tiba bisa mencuat dan menjadi pusat perhatian publik. Mereka yang terlibat di dalamnya juga banyak yang terkena skandal.
Pilpres di negara tersebut beberapa waktu lalu menghasilkan dua kandidat yang akan bertarung lagi dalam putaran kedua secara head to head pada 7 Mei 2017. Siapa pun yang menang akan memiliki kekuatan untuk mendorong Perancis dalam arah politik baru yang drastis. Dan bisa secara radikal mengubah hubungan negara tersebut dengan Uni Eropa. Mereka juga harus menangani sejumlah masalah sosial dan politik yang mendesak yang telah mengganggu Perancis dalam beberapa tahun terakhir.
Kaum muda di negara banyak yang menganggur, ekonomi lesu, dan menghadapi pertanyaan mengenai identitas nasional dan imigrasi. Perancis juga dalam keadaan darurat sejak serangan teror tahun 2015 yang menewaskan 130 orang di Paris. Juga mengalami banyak insiden terorisme sejak saat itu.
Dilansir dari laman The Guardian, Selasa (25/4/2017), berikut beberapa alasan pemilihan presiden di Prancis sangat penting:
Francois Fillon sempat memenangkan kampanye awal pilpres, namun kampanyenya terperosok karena skandal sehingga dia membayar ratusan ribu dolar. Korupsi membuat Fillon lari, dan sekarang dia sedang diselidiki atas penyalahgunaan dana publik.
Seiring itu apalagi Partai Sosialis Hollande berantakan, kesempatan terbuka untuk kandidat independen Emmanuel Macron. Mantan bankir itu mendapat banyak dukungan dengan janji memperkuat Uni Eropa dan mereformasi ekonomi.
Calon lainnya, pemimpin Front Front Nasional Marine Le Pen bersaing ketat dengan Macron untuk memenangkan putaran kedua nanti. Le Pen telah menjalankan platform populis yang mencakup pemotongan drastis imigrasi, meninggalkan Uni Eropa, dan menentang Islam di masyarakat Prancis.
Partai-partai populis sayap kanan Eropa memang meningkat di banyak negara di tengah krisis pengungsi, serentetan serangan teror dan sentimen anti-UE yang konsisten. Meskipun banyak dari partai-partai ini telah ada selama beberapa dekade, namun banyak dibesarkan oleh Brexit dan pemilihan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Kandidat presiden itu diperkirakan lebih ramah kepada Rusia, kecuali Macron yang merupakan pengkritik Presiden Rusia Vladimir Putin. Kampanye Macron menuduh media yang didanai Kremlin telah berusaha untuk ikut campur dalam pemilihan tersebut dengan menerbitkan artikel penghinaan terhadapnya, dan juga jajak pendapat yang tidak akurat yang mengklaim bahwa Fillon lebih layak memimpin.
Namun, Le Pen telah mendesak diakhirinya sanksi Perancis terhadap Rusia atas aneksasi Crimea di negara tersebut. Ia juga telah melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Putin.
Leave a Reply