ragamlampung.com — Perokok elektrik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir bertambah di tengah perdebatan keamanan penggunanya. Di Jakarta akan diberlakukan pajak 57 persen untuk penjualan rokok non-tembakau mulai tahun 2018.
Hasbullah Thabrany, pakar kesehatan dan penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, memperingatkan bahwa meskipun undang-undang bea cukai mengharuskan pemerintah menetapkan pajak untuk produk semacam itu, pihak berwenang masih bisa menggunakan pungutan yang sama.
Rhomedal Aquino, juru bicara Asosiasi Vaporizer Indonesia, setuju dengan rencana pajak untuk mengendalikan konsumsi. Namun, pajak sampai 57 persen itu akan membunuh industri yang terus berkembang.
“Ini akan membuat kita terlihat seperti mesin pembunuh, padahal tidak,” katanya, dikutip dari SCMP, Kamis (25/1/2018).
Seorang pekerja IT, Roy Iskandar yang juga perokok berat khawatir dengan rencana kenaikan harga yang demikian fantastis. “Jika mereka mengenakan pajak tinggi seperti itu, orang yang merasa lebih sehat setelah berhenti merokok konvensional seperti saya bisa kambuh lagi,” kata pria berusia 38 tahun itu.
Kantor pabean Indonesia mengatakan berharap rencananya membuat perokok eletrik tidak terjangkau untuk anak-anak.
“Rokok elektrik sama berbahayanya dan bahkan bisa lebih bersifat karsinogenik” daripada rokok biasa,” kata pejabat senior kementerian Muhammad Subuh.
“Kami menolak rokok konvensional dan elektronik – lebih baik berhenti merokok sama sekali. Tidak ada yang namanya ‘kurang berbahaya’ dalam hal merokok. ”
Pemerintah DKI Jakarta membantah kebijakan itu menempatkan ekonomi di atas kesehatan masyarakat.
Tapi, tembakau adalah bisnis besar, memberikan kontribusi sekitar 10,5 miliar dolar AS untuk pajak tiap tahunnya. Sementara industri rokok elektrik hanya menghasilkan 7,5 juta dolar AS, sebagian besar melalui pajak penjualan.
Rokok merek Gudang Garam adalah salah satu perusahaan terbesar, bersaing dengan Djarum. (ar)
Leave a Reply