ragamlampung.com — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
“Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Arief Hidayat saat mengucapkan amar putusan di ruang sidang pleno MK, Kamis (27/10/2016).
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pertimbangan hukum, dikutip dari situs http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/, Jumat (28/10/2016), menyatakan, anggota masyarakat hukum adat sah untuk mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan.
Selain itu, petani kecil dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul. “Dalam putusan dimaksud, Mahkamah telah pada intinya mengakui hak per orangan petani kecil untuk pemuliaan tanaman tanpa harus meminta izin,” ujar Gede.
Pemohon uji materi adalah Tim Advokasi Keadilan Perkebunan, gabungan lembaga swadaya masyarakat yang di antaranya Sawit Watch, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Aliansi Petani Indonesia (API), dan Serikat Petani Indonesia (SPI).
Tim Advokasi Keadilan Perkebunan menilai keputusan MK berdampak positif bagi kehidupan petani kecil, walaupun ada putusan yang berpeluang merugikan petani kelapa sawit di Indonesia.
“Kami menghormati putusan MK dari sisi keadilan. Pada beberapa hal kami diperlakukan adil, namun ada beberapa putusan yang perlu kami kritisi,” kata Direktur Eksekutif Sawit Watch Jefri Saragih kemarin.
Menurut Jefri Saragih ada tiga putusan MK yang berdampak positif pada Indonesia. Pertama, soal varietas benih yang bisa dikembangkan oleh petani atau kelompok petani untuk konsumsinya sendiri.
Dengan begitu petani bisa menanam benih dengan keinginan sendiri. Mereka tidak perlu bergantung pada perusahaan besar untuk menanam. “Kami anggap itu satu kemenangan bagi petani Indonesia dalam mengembangkan varietas yang dianggap unggul,” kata Jefri.
Kedua, tentang kriminalitas yang baru ditetapkan MK. Barang siapa yang masuk ke dalam perkebunan dan merusak perkebunan itu bisa dikenakan hukum pidana. Selain itu perusak perkebunan juga bisa dikenakan hukum denda.
Ketiga, mengenai izin perusahaan. Perusahaan tak bisa sembarang membuka lahan sawit bila tidak ada izin yang jelas, yaitu izin atas tanah dan izin usaha perkebunan sawit.
Jefri menilai, tiga putusan baik ini juga harus dijaga ketat. Pasalnya ada beberapa perusahaan yang masih melakukan pelanggaran.
“Di lapangan banyak perusahaan yang baru dapat izin dari Bupati, belum urus apa pun langsung embat aja. Dari sekitar 2100 perusahaan sawit di Indonesia, kalau dicek ini banyak yang tidak punya HGU (Hak Guna Usaha),” kata Jefri.
Merugikan
Namun, kata Jefri, ada juga putusan MK yang berpeluang merugikan petani sawit Indonesia, yaitu putusan tentang kemitraan antara petani dengan perusahaan sawit yang rancu.
Dalam pasal itu disebutkan ada beberapa pola kemitraan yang bisa dijalin antara petani dengan perusahaan. Tapi, implementasinya tidak seperti itu. Banyak perusahaan yang mengambil alih kemitraan sehingga petani dirugikan.
“Kemitraan lebih banyak bikin petani menderita, karena diperas perusahaan. Semua kelola perusahaan tanpa transparansi. Petani mandiri lebih makmur karena dia tahu semua,” katanya.
Jefri menjelaskan, konflik antara petani dan masyarakat biasanya terjadi karena transparansi pengelolaan. Begitu juga dengan akuisisi lahan yang tidak seimbang dan proses penyerahan lahan yang tidak tepat waktu.
Kepala Departemen Kebijakan dan Organisasi SPKS Saut Sinaga membenarkan hal itu terjadi di lapangan. Di lapangan petani tidak bisa memilih pola kemitraan seperti apa.
Saut juga menyayangkan pasal dalam UU No.39 tahun 2014 tentang ekspansi perusahaan kelapa sawit yang tidak dibatalkan MK. Perusahaan kelapa sawit boleh melakukan ekspansi sebanyak 20 persen dari lahan total lahan di luar konsesi perusahaan. Dengan syarat 20 persen itu diberikan kepada warga.
“Bagi kami yang petani, itu bentuk pelegalan perampasan lahan baru. Lahan 20 persen harusnya dalam konsesi mereka,” kata Saut
Terkait putusan MK, Saut akan melakukan sosialisasi kepada petani. Ia akan memberi tahu mana putusan yang baik dan mana putusan yang kurang baik. Agar petani sawit tahu apa yang harus mereka lakukan dan bisa mengantisipasi.
Jefri mengatakan, Tim Advokai Keadilan Perkebunan akan mencari solusi hukum terkait pasal kemitraan dan pasal ekspansi lahan. Ia tak ingin Indonesia terus merugi tetapi perusahaan terus mendapatkan keuntungan.
Ia juga meminta pemerintah untuk memperhatikan perkelapasawitan di Indonesia secara utuh. Bukan hanya soal buruh, tetapi juga soal bisnis. Pasalnya, banyak negara lain yang sudah mulai membuka lahan sawit dengan lebih baik. Dengan begitu Indonesia bisa kalah.
“Kalau lahan sawit semakin luas di Indonesia, suatu hari, sawit bisa jadi bumerang,” katanya. (cnn/ar)
Leave a Reply