ragamlampung.com — Tidak mudah menurunkan (pemakzulan) Presiden Joko Widodo saat ini, karena ia tidak melakukan perbuatan melanggar hukum. Aksi demonstrasi yang dilakukan baru-baru ini juga tak bisa membuat Jokowi turun dari jabatannya.
Hal itu dikemukakan peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara, Mei Susanto, Minggu (13/11/2016).
Ia berpendapat, Pasal 7A UUD 1945 menjelaskan pemakzulan bisa dilakukan apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
”Apakah dalam kasus yang saat ini terjadi presiden melakukan perbuatan tersebut? Menurut saya tidak ada,” kata Susanto.
Jadi, kata dia, jika Presiden Jokowi melihat banyaknya demonstran pada 4 November lalu dianggap akan melakukan pemakzulan itu mengada-ada dan terlihat seperti ada phobia.
Ia menilai, pemakzulan presiden atau wapres itu melibatkan setidaknya tiga lembaga negara. Yakni DPR, MPR dan Mahkamah Konstitusi. Sebab itu, tidak mudah untuk melakukan penggulingan terhadap Jokowi.
“Apalagi di DPR sekaligus MPR tentunya mayoritas fraksi adalah pendukung pemerintahan Jokowi, sangat aneh mengingat juga Jokowi bukanlah tipe presiden yang tidak mau bertemu rakyat,” katanya.
Dosen hukum tata negara Universitas Padjajaran Bandung ini meminta kepada Presiden Jokowi untuk tidak khawatir alias santai saja. Karena, demonstrasi adalah suatu hal lumrah dalam demokrasi.
“Kecuali, presiden merasa khawatir diimpeachment apabila memang ia sebenarnya memenuhi syarat untuk diimpeach tersebut,” ujarnya.
Analisis Panglima TNI
Sementara itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arief Poyuono menilai, analisis Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bahwa banyak negara iri terhadap kekayaan alam dan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga Bhinneka Tunggal Ika, terancam perpecahan benar adanya.
Menurut Arief, salah satu serangan asing terhadap perekonomian yakni melalui rencana Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Komunikasi dan PP Nomor 53 tahun 2000 tentang Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
“Pernyataan Panglima benar, bahkan bukan hanya iri tapi juga ingin merampok Indonesia. Apalagi saat keadaan pertumbuhan Ekonomi dunia memburuk, Presiden Joko Widodo berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi domestiknya tetap stabil,” kata Arief dalam keterangannya, Minggu (13/11/201).
Dia menilai revisi PP 52 dan 53 tersebuf mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Karena spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas yang seharusnya dikuasai negara menjadi dikuasai asing,” katanya.
Ia menjelaskan, sebagai negara berkembang memang wajar pertumbuhan di sektor telekomunikasi yang tinggi sangat menarik bagi korporasi asing.
Menurut dia, hal ini membuat korporasi asing berhasrat untuk menikmati pertumbuhan sektor telekomunikasi Indonesia dengan modal yang kecil tapi untung besar.
“Rencana revisi PP 52 dan 53 terkait Penurunan Tarif Interkoneksi dan terkait Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan yang kental dengan kepentingan korporasi asing untuk menipu Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN,” kata Arief.
Dia menilai dalih revisi kedua PP itu untuk menarik dan memuaskan korporasi asing masuk ke sektor telekomunikasi merupakan jebakan licik. Sebab, revisi kedua PP tersebut memang akan menarik asing untuk berinvestasi lebih banyak untuk merampok ‘kue’ ekonomi Indonesia.
“Jelas betul bahwa revisi PP 52 dan 53 hanya menguntungkan asing yang tidak mau mengucurkan modal untuk membangun jaringan telekomunikasi secara menyeluruh dan merata di Indonesia,” ujar Arief.
Menurutnya, Revisi PP 52 dan 53 membuat operator telekomunikasi menjadi semakin malas membangun. Hal ini akan mengakibatkan pembangunan jaringan telekomunikasi tidak menyeluruh dan tak merata hingga ke pelosok negeri.
Akibatnya, persaingan usaha menjadi tidak sehat, terdapat perjanjian antaroperator telekomunikasi terkait pengaturan produksi, harga maupun penguasaan pasar.
Dengan demikian dapat merugikan BUMN sektor telekomunikasi yang telah mengeluarkan investasi besar untuk membangun jaringan dengan nilai kerugian dalam lima tahun mencapai Rp200 triliun.
“Dengan kerugian BUMN, maka kerugian negara akibat revisi PP 52 dan 53 mencapai Rp 100 triliun dalam lima tahun,” jelasnya.
Revisi PP 52 dan 53 juga berdampak buruk bagi warga khususnya di wilayah non-profit, karena tidak terpenuhinya hak masyarakat terhadap akses telekomunikasi.
“Ketentuan dalam revisi PP 52 dan 53 bertentangan dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi sehingga jika dipaksakan akan batal demi hukum melalui judicial review,” ujarnya.
Karenanya, FSP BUMN bersatu mendesak Presiden Joko Widodo yang membawa misi perekonomian Trisakti dan Nawacita untuk membatalkan revisi PP 52 dan 53.
Pihaknya mengapresiasi perjuangan Kementerian BUMN yang telah berusaha menolak revisi kedua PP tersebut karena banyak dampak negatif bagi ekonomi nasional dan BUMN sektor telekomunikasi. (ar)
Leave a Reply