Quo Vadis Surono Danu, Manusia Petani yang Kaya Raya

surono danu (paling kiri)
Share :
surono danu (paling kiri)
surono danu (paling kiri)

ragamlampung.com — Petani yang tinggal di Kabupaten Lampung Tengah, Surono Danu, terus menghasilkan karya bermutu di bidang pertanian, terutama keahliannya menemukan bibit padi varietas unggul.

Ia adalah peneliti pangan sekaligus penemu bibit unggul yang membuat panen padi berlimpah. Uniknya, penemuan Surono hanya bermodalkan pinset dan laboratorium di tengah sawah.

Surono perlu selama delapan untuk meneliti dan kawin silang sampai dapat melahirkan bibit varietas unggul kebanggannya saat ini, yakni Sertani atau disingkat Serikat Tani Indonesia 13.

Ia sudah mencoba 181 bibit varietas unggul lokal dari 370 varietas padi lokal di Indonesia diuji coba untuk menghasilkan Sertani 13 tersebut. Dari persilangan itu, bibit bisa ditanam di lahan kering, tahan hama, dan mampu menghasilkan bulir gabah lebih banyak permalai/tangkai.

Sertani 13 juga tahan cuaca kering seperti kondisi cuaca di Kalimantan atau Balikpapan. Hasil panen per hektarnya mencapai dua hingga tiga kali lipat daripada bibit padi biasa.

Per hektare bisa panen 14 ton gabah dibandingkan bibit unggul yang hanya 5,5 sampai 6 ton. Apalagi kalau tanahnya banyak kena pupuk kimia, paling bisa panen 4-5 ton.

Surono mengatakan, dengan hasil seperti itu, penemuannya sudah beberapa kali ditawar oleh pihak asing terutama negara penghasil padi. Mereka, kata dia, berniat membeli bibit unggulannya, dan tak tanggung-tanggung ditawar Rp400 juta per gram atau bulir padi yang berisi hanya sekitar 36 butir.

Namun, Surono menolak tawaran itu, karena jiwa patriotisnya. Ia ingin bibit temuannya itu untuk Indonesia agar rakyatnya berdaulat pangan.

Menurut dia, varietas Sertani 13 cocok ditanam di berbagai jenis tanah termasuk di pulau Kalimantan yang dikenal miskin hara dan tipisnya lapisan tanah subur.

Sertani 13 juga bisa ditanam di tanah yang tidak menggunakan pupuk kimia namun lebih menggunkan pupuk hewan yang sudah matang. Cara ini tidak banyak membutuhkan banyak air atau tahan kekeringan.

Kehidupan Surono

Surono lahir di Cirebon dan menetap bersama keluarganya di Desa Nambah Dadi, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Awalnya, ia Pegawai Negeri Sipil di Departemen Pertanian. Karena pandangan politiknya, dia sempat dipermasalahkan statusnya sebagai PNS.

Dia minta dipecat, tetapi Departemen Pertanian tidak berani mengeluarkan surat pemecatannya. Akhirnya, dia meminta pensiun dini, dan ia tidak mengambil uang pensiunnya.

Usai pensiun, tidak menyurutkan semangatnya untuk mengabdikan dirinya kepada para petani. Dia berkeliling Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, dan beberapa daerah lainnya. Tujuannya mengumpulkan berbagai varietas padi lokal. Pengembaraan itu membuatnya mampu mengumpulkan 180 lebih varietas padi lokal.

Semua jenis padi lokal diseleksi, dari tingkat usia tanam, hingga kualitas padinya. Padi yang dianggap terbaik kualitasnya, dikawinkan silang, dan dikawinkan silang ulang hingga menghasilkan padi sesuai yang diharapkan. Kawin silang ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan penelitian Surono sudah lebih dari 20 tahun.

Secara lokal atau untuk kalangan masyarakat Lampung, padi ini disebut Sertani atau padi serikat tani. Secara nasional, padi ini disebut MSP atau mari sejahterakan petani.

Selama melakukan penelitian, tidak ada yang membiayai Surono. Dia berkeliling ke berbagai wilayah hanya menggunakan sepeda motor. Saat mengawinkan padi, dia pun hanya berbekal sebuah pinset untuk memindahkan serbuk padi ke padi yang lainnya.

“Saya adalah seorang peneliti padi, tetapi saya sering tidak memiliki padi,” kata Surono.

Pernah istrinya kehabisan beras, tidak ada beras yang bisa dimasak, namun Surono tidak serta merta memberikan padi hasil penelitiannya kepada istrinya untuk dimasak. Dia beri istrinya jagung yang biasa untuk makan ayam agar dimasak. Anaknya terkena diare karena makan nasi jagung, tapi Surono tetap gigih mempertahankan padi hasil penelitiannya.

Surono pernah diundang oleh pemerintah Filipina untuk membuktikan keunggulan padinya di sana.

“Boleh, tapi dengan catatan, setelah panen semua padi harus menjadi beras, dan tidak ada sebutir padi pun yang tersisa dijadikan benih,” kata dia.

Pemerintah Filipina pun menandatangani MoU dengan Surono. Ia diberi lahan dan fasilitas pertanian. Setelah dipanen, satu hektar sawah mampu menghasilkan 29 ton padi. Sesuai kesepakatan, Surono pun membersihkan seluruh sawah, dan tidak ada padi yang tersisa untuk dijadikan benih.

Setelah panen tersebut, banyak negara termasuk Thailand, China, Malaysia dan Jepang, berbondong-bondong mendatanginya untuk membeli bibit padi Sertani.

Mereka hanya ingin membeli 4 gram saja. Tentu sedikit sekali. Berapakah nilai benih padi Sertani seberat 4 gram? Tidak banyak. Hitunglah sendiri berapa nilainya jika per gram dihargai empat ratus juta Rupiah. Tapi, ia tidak tergiur dengan nilai uang miliaran Rupiah.

“Biarlah mulut para petani sendiri yang menyertifikasikan,” ujarnya.

Jika padi Sertani disertifikasikan, Surono akan mendapatkan royalti dan menjadi petani kaya raya. Namun, hal itu tak terlintas dalam benaknya.

Jika sedang berada di kampungnya, Surono tidak ada di rumah sebab lebih sering menghabiskan waktunya berkeliling ke sawah dan kebun orang hingga dini hari.

Rumahnya tidak ada bedanya dengan rumah tetangganya: Sederhana. Gudang padinya terbuat dari bilik bambu. Padahal, untuk orang sekaliber dia, sangat mudah menjadi miliuner. Tapi, prinsipnya adalah “Saya dilahirkan tanpa bekal uang” dan dengan mampu membantu para petani justru dia merasa sebagai orang yang paling kaya di Indonesia.

Karena pengabdiannya kepada petani, Surono sering diundang menjadi pembicara dalam seminar pertanian. Dia menceritakan seminar pertanian yang diadakan di hotel Sahid Jakarta. Dia disediakan kamar hotel, tetapi dia lebih memilih untuk tidur di rumah rakyat.

Ketika telah selesai seminar, beberapa pembicara mengeluh “Kok cuma segini” melihat cek yang isinya hanya sebesar sepuluh juta Rupiah. Cek yang diberikan kepada Surono dikembalikan kepada panitia karena dia merasa tidak membutuhkannya.

Surono bertampang preman, rambutnya gondrong dan pakaiannya pun sederhana. Gaya ucapannya ceplas-ceplos. Suka bergurau dan suka pula berbicara.

Tampak seperti orang gila tetapi ketulusan, keikhlasan, dan kesediannya untuk membantu sangat luar biasa. Handphone sederhananya tidak pernah dimatikan selama 24 jam. Setiap ada telepon, sepanjang tidak sedang mengendarai sepeda motor, akan dijawab.

Filsafat pertanian yang dianut Surono dan kelompoknya adalah tidak membunuh dan semaksimal mungkin menerapkan pertanian organik. Mengatasi tikus, misalnya, ia menjawab, “Di gudang padi saya, ada tikus dari yang paling kecil sampai yang paling besar, tetapi tidak satu pun yang menggerogoti karung atau makan padi.”

“Saya tidak membutuhkan ketenaran, tapi media dan para petanilah yang membuat saya dikenal,” katanya.

Itulah sebuah kehidupan sebenarnya manusia petani, filosofis orang kaya yang sesungguhnya. (ar)

Share :