ragamlampung.com — Pekan Olahraga Nasional, (PON) kini sudah berlangsung. Ajang ini diikuti atlet dari seluruh penjuru Nusantara dan saling berlomba untuk menjadi yang terbaik di pesta olahraga empat tahunan tersebut. Tahun ini, Jawa Barat ditunjuk menjadi tuan rumah perhelatan akbar ini.
Sayangnya, perhelatan akbar yang menjadi pintu bagi praatlet sebelum terjun ke ajang internasional diwarnai dengan banyak insiden. Mulai dari kebijakan wildcard bagi atlet Jawa Barat, intiminasi terhadap wartawan hingga perkelahian di tengah arena pertandingan.
Terbaru, panitia penyelenggara atau Pengurus Besar (PB) PON XIX/Jabar baru saja memecat salah satu juru bicaranya, Maria Selena. Mantan Putri Indonesia 2011 ini dinilai hanya sebagai pemanis, serta tidak memahami seluruh isi pertandingan. Alhasil, posisinya digantikan Perry Soeparman.
“Resmi diganti, hasil evaluasi sekarang posisi juru bicara Pak Perry,” kata Ketua Harian Umum PB PON XIX/2016 Jabar, di Bandung, Rabu (21/9/2016). Perry sendiri saat ini merupakan Kepala Inspektorat Jabar.
Sejumlah wartawan yang meliput langsung ajang ini merasakan sulitnya memperoleh keterangan langsung mengenai PON dari Maria Selena.
“Diminta nomor telepon oleh wartawan enggak mau, bahkan ngomong soal kondisi PON terbaru pun enggak bisa. Padahal isu PON ini butuh juru bicara yang optimal,” kata Ovi, wartawan harian di Bandung.
Tak hanya soal juru bicara, protes serupa juga disampaikan sembilan kontingen atlet berkuda. Mereka merasa keberatan terhadap kebijakan panitia penyelenggara untuk memberikan wildcard terhadap seluruh atet berkuda asal Jawa Barat menuai protes.
Fasilitas Wildcard tersebut membuat 10 kuda yang akan dipertandingkan melenggang dalam lima nomor langsung ke babak final tanpa melalui penyisihan. Aturan ini tercantum dalam buku petunjuk teknis atau Technical Hand Book (THB) Cabang Olahraga Berkuda.
Sembilan kontingen yang menolak wildcard tersebut berasal dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Riau, Sumatera Barat, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Sayangnya, protes tersebut dianggap angin lalu oleh panitia. Mereka beralasan, aturan itu sudah tercantum jelas dalam buku petunjuk, sehingga tidak memungkinkan untuk dihapus atau ditinjau ulang. Mereka juga menyebut hal itu sudah disetujui Gubernur Jawa Barat sekaligus Ketua Umum PB PON XIX/Jabar, Ahmad Heryawan.
“Kan keputusan akhirnya di Technical Hand Book. Kalau memutuskan tidak, sudah jelas tidak bisa dipaksakan,” ujar Wakil Ketua III PON XIX/2016 Rudi Gandakusuma, Senin (19/9/2016).
Perkelahian juga ikut mewarnai PON XIX Jabar. Di mana sejumlah atlet polo air, mereka berkelahi di tengah arena, hingga merembet ke area penonton.
Kejadian itu membuat PB PON XIX/2016 Jabar mengevaluasi kericuhan yang terjadi selama pertandingan PON berjalan hampir sepekan. Kericuhan mencolok terjadi saat cabang olahraga polo air bertanding di kolam renang Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung pada Senin (19/8/2016).
“Kami panitia akan melakukan perbaikan khususnya pada Ketua Sub PB PON Kabupaten Bandung terutama yang mengundang pertandingan dengan penonton yang resistensinya tinggi,” kata Ketua Harian PB PON Jabar Iwa Karniwa.
Keluhan tak hanya terjadi di area pertandingan. Di luar arena, sejumlah peserta PON expo 2016 di Jawa Barat mengaku kecewa dengan panitia. Proposal yang ditawarkan tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan lokasi pameran sangat sepi pengunjung.
“Baru kali ini kami mengikuti Expo (pameran) tingkat nasional yang sangat mengecewakan, bahkan bikin frustasi,” ujar peserta expo dari Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Tobib Al Asyhar.
Menurutnya, pada proposal penawaran yang ditandatangani Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, dikemas dengan desain dan rencana sangat menarik. Jumlah stand yang direncanakan ada ratusan dengan beragam acara penunjang yang menarik.
Lokasi pameran berada di lapangan TVRI Cibaduyut yang jauh dari pusat keramaian. Untuk menempuhnya dengan jalan sempit karena hanya bisa dilalui dua jalur mobil. Padahal peserta diharuskan membayar Rp 18 juta untuk sewa stand, belum lagi harus membuat dekor stand yang biayanya cukup mahal.
Sebagai konsekuensi dari lokasi tersebut, lanjutnya, pengunjung datang sepi bahkan bisa dibilang tidak ada yang peduli. Saat pembukaan oleh istri gubernur sangat sepi pengujung, bahkan panitia kelimpungan cari warga untuk ikut duduk di kursi acara. Para penyewa stand banyak yang mengeluh. Mereka datang dari Solo, Kebumen, Semarang, Jakarta, bahkan ada dari Sulawesi Selatan.
Kondisi ini diperparah dengan EO atau penyelenggara tidak profesional, tidak responsif dan tidak memiliki tanggung jawab. “Karena lokasi yang becek seperti sawah tidak ada upaya EO untuk sekedar tutup dengan pasir atau koral sehingga pengunjung nyaman,” katanya. (ar)
Leave a Reply