ragamlampung.com — Ada beragam penyebab mengapa fenomena calon tunggal muncul di pemilihan kepala daerah serentak, seperti yang terjadi di Kabupaten Tulangbawang Barat. Pada pilkada tidak serentak justru kondisi seperti ini teramat jarang terjadi.
Pelaksanaan pilkada serentak memiliki waktu yang ketat. Beberapa masa jabatan kepala daerah ada yang dimajukan atau yang dimundurkan untuk menyesuaikan waktu dengan pelaksanaan pilkada serentak.
Peneliti lembaga riset Founding Father House (FFH), Dian Permata menilai, karena kondisi seperti ini, yang lebih diuntungkan adalah petahana, anggota DPR atau DPRD yang sudah lebih memiliki modal sosial dan politik.
“Belum lagi jika mereka memilili rekam jejak serta prestasi yang cukup baik di mata publik. Ketiadaan road map soal pendistribusian kader politik di jabatan seperti kepala daerah berjalan tidak baik,” katanya, Rabu (28/9/2016).
Kondisi ini juga disebabkan adanya pameo politik runut kacang. Akibatnya, kader parpol potensial harus mengantri dan menunggu waktu lebih lama.
“Karena itu, juga harus mulai dipikirkan pada masa mendatang soal fenomena calon tunggal. Apakah harus diatur dalam UU pilkada mendatang bahwa parpol diwajibkan untuk menyetor kader terbaik mereka berlaga di pilkada,” ujarnya.
Jika mekanisme tersebut tidak berjalan maka pilkada tersebut bisa saja ditunda. Kompensasinya, parpol di daerah tersebut tidak memperoleh insentif dari negara.
“Hal ini karena berkaitan dengan wacana parpol mendapatkan kenaikan bantuan dana untuk parpol. Menurut saya, memang harus bisa lebih diatur dalam UU Pilkada,” kata Dian. (ar)
Leave a Reply