Vonis Jessica hanya Berdasar Keyakinan Hakim

Share :

jessica-kumala-wongso
ragamlampung.com — Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menilai putusan 20 tahun penjara terhadap terdakwa pembunuh Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso, murni didorong keyakinan hakim.

Dia menilai unsur-unsur pembunuhan berencana terhadap Mirna tak bisa dibuktikan persidangan, karena tak ada saksi ataupun alat bukti yang menguatkan dakwaan jaksa terhadap Jessica.

“Keyakinan hakim ikut menentukan, ini repotnya sistem kita,” kata Romli, Kamis (27/10/2016).

Menurut Romli, berdasarkan pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, hakim bisa menjatuhkan hukuman pada seseorang berdasarkan keyakinannya, bahwa alat bukti sudah terpenuhi.

Padahal, pada kasus pembunuhan berencana, mestinya ahli forensik memberikan visum et repertum atau laporan mengenai penyebab kematian seseorang, sehingga bisa disimpulkan korban kehilangan nyawa karena adanya perbuatan seseorang.

“Hakim kurang cermat memperhatikan semua keterangan saksi sama barang bukti, terutama ahli forensik. omongannya bahwa ini adalah pembunuhan kan paling penting dari forensik, bukan ahli hukum,” jelasnya.

Sebab itu, pada kasus pembunuhan wajib dilakukan autopsi. Hal ini tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kiminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada paragraf 3 dijelaskan mengenai pemeriksaan barang bukti keracunan, wajib memenuhi beberapa persyaratan teknis, seperti mengambil sampel organ atau jaringan tubuh, cairan tubuh, serta barang bukti pembanding. Pengambilan barang bukti ini harus dilakukan oleh dokter saat autopsi.

Jika pihak keluarga menolak seperti yang dilakukan keluarga Mirna, “Tunjukan Perkap-nya (Peraturan Kapolri), harusnya polisi mengatakan kami tidak bisa melanjutkan penyidikan. Sebab tidak jelas pembunuhannya karena sianida atau apa?” ucapnya.

Akibat ketiadaan visum ini, Romli melihat kasus ini ada kesan dipaksakan. Sebab, dalam proses penanganan kasusnya tak lancar, terlihat saat pelimpahan berkas penyidikan dari polisi ke jaksa. Berkas itu selalu dikembalikan dengan alasan kurangnya bukti permulaan.

“Biasanya dalam pembunuhan itu dibuktikan dari fungsi visum, prosedur ini tidak dilakukan secara utuh. Saya menilai ini (putusan) murni didasarkan keyakinan hakim,” katanya.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir mengkritik putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis 20 tahun penjara kepada Jessica Kumala Wongso. Vonis itu disebut lemah karena hanya berdasarkan keyakinan majelis hakim.

“Vonis majelis hakim lebih mengedepankan keyakinan. Seharusnya keyakinan itu didasarkan oleh bukti-bukti. Setiap unsur yang diyakini harus didukung bukti. Keyakinan tak bisa berdiri sendiri,” kata Mudzakkir, Kamis (27/10/2016).

Vonis hakim terhadap Jessica memang didasari oleh bukti tak langsung atau circumstance evidence. Bukti tak langsung yaitu bukti menceritakan suatu fakta yang ada kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.

Dalam putusan hakim, bukti tak langsung berasal dari beberapa kejadian, yaitu siapa yang memesan, siapa yang menguasai minuman itu, dan ada gerak-gerik mencurigakan.

Hal tersebut diperkuat dengan fakta dan kronologi kejadian sebelum Mirna terbunuh. Di antaranya fakta bahwa Jessica yang mengatur waktu minum kopi bersama Mirna dan Hani, serta memesan dan membayar kopi terlebih dulu.

Majelis hakim juga berdasarkan pada anggapan bahwa Jessica satu-satunya orang yang menguasai kopi sebelum diminum oleh Mirna.

Mudzakkir mengatakan, seharusnya, majelis hakim mendasarkan vonisnya pada bukti-bukti primer, dalam hal ini dua alat bukti yang sah dan berkekuatan hukum, bukan sekedar rangkaian kronologi atau omongan pihak lain.

Jika hanya bersandar pada bukti tak langsung, maka majelis hakim menurut Mudzakkir hanya mengandalkan keyakinan, sehingga vonis terhadap Mirna terkesan sebagai selera pribadi masing-masing anggota majelis hakim.

“Pertanyaannya adalah, apakah Jessica terbukti membawa racun? Kalau iya, bagaimana cara dia memasukkan racun tersebut? Itu yang harus dijawab. Jangan malah majelis hakim menyebut Jessica satu-satunya yang menguasai kopi, tapi tak bisa membuktikan apakah Jessica membawa dan memasukkan racun,” kata Mudzakkir.

“Jadi, vonis ini hanya menghasilkan kebenaran materil, bukan kebenaran hakiki. Kebenaran hakiki itu menjawab apakah orang itu benar-benar melakukan pembunuhan,” ujar Mudzakkir yang pernah ditunjuk sebagai saksi ahli dari kuasa hukum Jessica. (ar)

Share :