Makna Makar dalam Hukum Negara Republik Indonesia

Share :

makna-makar-di-indonesia
ragamlampung.com — Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan ada upaya makar dalam rencana aksi 25 November dan 2 Desember 2016.

Menurut Kapolri, di Mabes Polri, Jakarta, Senin (21/11/2016), demo itu akan menduduki gedung parlemen dan berupaya menjatuhkan atau menggulingkan pemerintah.

Lantas apa yang dimaksud dengan makar tersebut? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makar diartikan sebagai akal busuk; tipu muslihat; perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang; dan juga perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Menurut KUHP, makar diatur dalam pasal 104 hingga 129. Pasal 104 KUHP menyebutkan, makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 106 berbunyi, makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun

Sedangkan Pasal 107 terbagi dalam dua ayat. Pertama, makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. kedua, para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, pernah menulis makalah tentang pasal-pasal makar dalam KUHP
Dikutip dari blog mazhoinside, Bambang menjelaskan, makar secara sempit dapat diartikan sebagai, kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden; kejahatan terhadap pemerintah atau badan-badan pemerintah; dan pemberontakan.

Secara luas, makar meliputi kejahatan terhadap negara, kepala negara dan wakil kepala negara sahabat; menjadi mata-mata musuh; perlawanan terhadap pegawai pemerintah; dan berbagai tindakan lain yang merugikan kepentingan negara.

Sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku makar, menurut Bambang, cukup berat. Mulai dari hukuman penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun.

Sementara, aktivis hak asasi manusia, Usman Hamid menilai pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian tentang upaya makar sebagai pernyataan yang normatif.

“Pasal makar bukan hal yang baru digunakan. Di Papua pasal itu sering digunakan untuk menangkap aktivis-aktivis. Banyak pemuda Papua yang kritis yang kemudian dikriminalisasi dengan pasal makar. Itu pasal karet,” kata Usman.

Menurut Usman, untuk menggunakan pasal makar harus jelas benar pelaku-pelakunya, ancaman-ancamannya, dan bukan hanya sebatas dugaan berdasarkan laporan intelijen. “Demonstrasi yang damai yang tidak menggunakan kekerasan tidak bisa dikenai pasal makar,” katanya.

Dia memberi contoh aksi 4 November yang lalu yang memprotes kasus penanganan hukum Basuki Tjahaja Purnam atau Ahok. Menurutnya, meskipun ada elemen-elemen radikal seperti FPI, aksi saat itu juga diikuti oleh kelompok-kelompok yang cair, yang juga moderat. (rimanews/ar)

Share :