Orangutan di Antara Konservasi dan Kepentingan Terselubung

ilustrasi
Share :

ragamlampung.com — Di hutan hujan lebat di Kalimantan tengah, sekelompok orangutan muda, pengungsi yang terancam punah karena pembangunan manusia, berayun dari satu cabang ke cabang lainnya. Lykke ditemukan terdampar di perkebunan kelapa sawit ketika usianya baru satu bulan, Ia kini bergerak lincah, merobek nanas yang ditinggalkan pawangnya dan memanjat pohon.

Dia adalah satu dari 13 orangutan remaja yang baru-baru ini diangkut ke sebuah Pulau Salat yang memiliki luas 5.200 hektare, yang diakuisisi tahun lalu oleh Borneo Orangutan Survival Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan tahun 1991.

Pelepasan orangutan pada bulan ini merupakan tahapan untuk merelokasi ratusan orangutan yang berada di dalam kandang di tempat penampungan.

Karena hutan hujan Borneo cepat hancur oleh pembangunan, organisasi nirlaba telah berjuang untuk menemukan habitat baru untuk memindahkan hewan yang diselamatkan untuk kembali ke alam bebas. The Borneo Orangutan Survival Foundation menyebut Pulau Salat sebagai “terobosan besar” membantu menyelamatkan spesies tersebut.

“Ini adalah dorongan besar untuk pembebasan,” kata Jacqueline Sunderland-Groves, wakil ketua yayasan, dikutip dari The New York Times, Rabu (26/4/2017). Selama dekade terakhir, yayasan tersebut telah mengamati pulau ini sebagai habitat orangutan potensial: subur dengan pohon buah-buahan, dijaga dari pemburu oleh sungai dan tanpa populasi orangutan asli untuk bersaing dengan wilayahnya.

Tapi untuk memperolehnya seperti mimpi. Jumlah pihak yang “bermain” sangat besar, belum lagi birokrasi permintaan pemerintah daerah. Sampai awal tahun lalu, ketika sebuah perusahaan minyak kelapa sawit terkemuka di Indonesia, PT Sawit Sumbermas Sarana (SSS) menukarkan dan membeli bagian pulau tersebut untuk rehabilitasi orangutan. Perusahaan bahkan setuju untuk membayar sebagian biaya yayasan untuk memantau dan merawat pulau tersebut.

“Kami percaya bahwa kita bisa hidup berdampingan,” kata kepala eksekutif perusahaan PT SSS, Vallauthan Subraminam, dalam sebuah wawancara.

Namun, kemitraan yayasan dengan perusahaan kelapa sawit mengkhawatirkan beberapa pemerhati lingkungan. Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit pendorong utama penghancuran hutan hujan di Indonesia, yang membuat orangutan habitatnya tidak subur.

“Jangan hapus sejarah dan pola perilaku destruktif saat ini, mereka tidak akan menyelamatkan orangutan Borneo dari kehancuran,” kata Gemma Tillack, direktur kampanye agribisnis di Rainforest Action Network, sebuah organisasi lingkungan.

Jika perusahaan serius melindungi spesies ini, dia menambahkan, ini akan membuat komitmen yang mengikat untuk mengakhiri deforestasi di perkebunannya.

Subraminam mengatakan bahwa perusahaannya telah mengubah paradigma masa lalu. “Kita harus mulai sehingga kita bisa memiliki masa depan yang lebih baik,” katanya. “Kita bisa mengoreksi diri kita sekarang.”

Tapi, organisasi yang memantau industri mengatakan mereka belum melihat koreksi dari perusahaan itu. Citra satelit yang ditangkap oleh Chain Reaction Research, sebuah lembaga penelitian manajemen risiko, menunjukkan penggundulan hutan aktif di lahan konsesi yang dikelola anak perusahaan Sawit Sumbermas Sarana terus terjadi baru-baru ini.

Kekhawatiran penggundulan hutan menyebabkan beberapa pembeli minyak kelapa sawit utama, termasuk Wilmar, penyulingan minyak sawit terbesar di dunia, menghentikan pembelian dari perusahaan tersebut. Tapi, untuk yayasan orangutan, kesempatan untuk melepaskan sebanyak 200 orangutan dari kandang sulit dilewatkan.

Jamartin Sihite, chief executive yayasan mengatakan, pihaknya juga bekerja sama dengan perusahaan tersebut untuk melindungi orangutan liar yang saat ini berada di perkebunannya. “Anda tidak bisa menyelamatkan orangutan jika Anda bekerja sendiri. Tidak ada yang bisa melakukan itu,” tambahnya. “Kita harus bekerja sama.”

Orangutan Borneo dinyatakan kritis terancam tahun lalu, setelah penelitian menunjukkan bahwa populasinya menurun lebih dari 80 persen selama 75 tahun terakhir, terutama karena perusakan habitat.

Hampir tiap minggu instansi pemerintah dan penduduk setempat memberitahukan bayi orangutan yang diambil sebagai hewan peliharaan oleh penduduk desa, biasanya setelah ibu mereka terbunuh karena dianggap hama.

Situs pelepasan yang cocok semakin sulit ditemukan karena deforestasi yang cepat dan sulitnya mendapatkan izin lahan di Indonesia. Organisasi tersebut mengeluarkan 56 orangutan ke hutan hujan terpencil tahun lalu saat menerima 61 pendatang baru. Tahun ini, kelompok ini berharap bisa membebaskan sekitar 150 orangutan, sebagian besar berkat ke Pulau Salat.

Sebagian besar akan tinggal di Salat sampai organisasi itu menemukan tempat tinggal permanen di hutan lindung yang lebih besar. Beberapa konservasionis menganggap program semacam itu kontraproduktif, gangguan yang mahal dari misi kritis perlindungan habitat. (ar)

Share :