ragamlampung.com — Dita Wahyunita tidak suka berjalan kaki di ibukota Indonesia, Jakarta. Trotoar di luar gedung perkantoran bertingkat tinggi di dekat Jakarta Pusat menjawab pertanyaan itu.
Trotoar retak dan tidak rata. Ada selokan tapi sampul yang hilang, kabel listrik terbuka dan pengendara motor yang agresif menggunakan jalan setapak untuk menghindari kemacetan, atau dijadikan tempat parkir.
Kemudian, tentu saja, dia menghadapi panas yang mencekik, polusi udara, pencopet, dan kegersangan di sepanjang jalanan. “Saya tidak merasa aman berjalan karena beberapa alasan,” kata Dita (24), dilansir dari Bangkok Post, Selasa (22/8/2017).
“Trotoar di sini mengerikan. Di negara lain, mereka memiliki trotoar lebar hanya untuk pejalan kaki, jadi tidak apa-apa.”
Dita, seorang analis pemasaran, tidak sendirian di kalangan orang Indonesia karena menjauh dari berjalan. Sebuah studi baru-baru ini oleh para periset di Stanford University, Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat di dunia, masuk terakhir di antara 46 negara dan wilayah untuk jumlah langkah berjalan yang diambil warga negaranya, rata-rata 3.513 per hari.
Sebagai perbandingan, Hong Kong berada di urutan pertama dengan 6.880, dan China berada di posisi kedua dengan 6.189. Ukraina, Jepang dan Rusia membulatkan lima besar. Penelitian tersebut melacak 717.000 orang di 111 negara, yang secara sukarela memantau 68 juta hari aktivitas menggunakan sebuah aplikasi di perangkat smartphone dan jam tangan mereka yang dirancang oleh para peneliti Stanford – studi pelacakan terbesar yang pernah ada, kata periset tersebut.
Setiap tempat membutuhkan setidaknya 1.000 peserta untuk diberi peringkat dalam laporan. (ar)
Leave a Reply