ragamlampung.com – Seekor naga terbang ke ujung pulau Sumatera dan bertelur. Jadilah nenek moyang orang-orang Lampung. Seorang bernama Wallie-Ollah yang hidup di Asia bertualang dengan kapal kain putih dan mendarat di utara Lampung. Ia memperanakkan Sabatang, yang kemudian melahirkan si Lampung atau Umpu Serinting. Si Lampung pun menjadi cikal-bakal yang menurunkan sejumlah kepala buai Lampung.
Itulah salah satu yang terjadi ketika 9 penulis kenamaan Indonesia mempertaruhkan nama dan kemampuan mereka untuk menulis berbagai kisah tentang Tulang Bawang Barat. Sebuah daerah yang baru saja dilahirkan sebagai kabupaten wilayah pemekaran di provinsi Lampung.
Iswadi Pratama yang merupakan salah satu penulis buku ‘Tubaba’ dan berasal dari Lampung menceritakan, di Lampung terdapat sastra lisan tentang Radin Jambat. “Selama ini dunia mengenal La Galigo sebagai karya sastra terpanjang tapi Radin Jambat juga ada 700 bait.
Ada juga sastra lisan yang kisahnya mirip seperti Serat Centhini dan diteliti di Leiden tentang Dayang Rindu. Lampung memiliki budaya sastra lisan dan tertulis,” ungkap Is membuka obrolan diskusi yang menyertai peluncuran buku ‘Kerja Sastra dari Tubaba’ di Goethe Institut Jakarta, akhir pekan lalu.
Aktor sekaligus sutradara Teater Satu Lampung itu menulis lima karya puisi dan satu naskah drama berjudul ‘Reminding Stories #4’. Zen Hae yang memimpin jalannya diskusi mengatakan karya Is yang terbiasa memiliki objek dan subjek kesunyian kini berubah haluan.
“Karena Tubaba tidak liris atau naratif. Di karya saya, saya lebih banyak bertutur dan bercerita,” kilah Is. Selain Is, masih ada delapan penulis lainnya yang ikut dalam proyek yang digagas oleh Studiohanafi bekerja sama dengan Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) kabupaten Tubaba tersebut. Yakni, Nukila Amal, A.S.Laksana, Yusi Avianto Pareanom, Afrizal Malna, Dea Anugrah, Dewi Kharisma Michellia, Langgeng Prima Anggradinata, dan Esha Tegar Putra.
Esha yang menulis satu cerpen berjudul ‘Tun Rompak Jadi Buaya’ dan lima puisi menambahkan kesannya terhadap Tubaba. “Saya begitu tertarik dengan dongeng buaya dan mencari literaturnya. Buaya yang punya banyak harta karun dan kisah perompak. Dari sana, saya mulai menulis cerpennya,” kisahnya.
Bunga rampai ‘Kerja Sastra dari Tubaba’ terdiri dari tiga esai, 11 cerpen, 15 puisi, dan satu naskah teater. Buku ini disunting oleh Zen Hae. Menurut Zen, buku ini adalah sebuah proyek pengarsipan sastra.
“Tulisan-tulisan dalam buku ini bersoal kembali dengan isu karya pesanan dan warna lokal. Sebagai karya pesanan, tulisan-tulisan dalam buku ini tampil cukup berkelas. Para penulis punya kepiawaian menyiasati tegangan antara pesanan dan kreativitas, antara masa silam dan kekinian, antara khazanah sastra nasional dan khazanah sastra dunia.
Buku ini adalah representasi paling mutakhir sejarah dan sastra lisan Tubaba. Namun, representasi di sini bukan lagi—jika kita boleh meminjam ungkapan Asrul Sani—”melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan”, melainkan serangkaian pembacaan kritis sekaligus bermain-main atas sejarah dan sastra lisan Tubaba…” tutur Zen Hae dalam pengantar buku.
Bupati Tubaba, Umar Ahmad menambahkan kerja sastra yang dihasilkan merupakan pilihan agar bisa menjadi pintu masuk untuk lebih dikenal masyarakat Tanah Air. “Dalam waktu dekat Tubaba menjadi kota perlintasan jalan tol Sumatera. Kerja sastra dan budaya adalah pilihan yang kami tampilkan ke publik, karena kota kami bukan jualan garis pantai, perbukitan, atau pariwisata lainnya. Kerja sastra Tubaba adalah pintu masuk,” katanya. (tedi)
Leave a Reply