Mengapa Ahok Tidak Ditahan?

ilustrasi
Share :
ilustrasi
ilustrasi

ragamlampung.com — Meski ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penistaan agama, Ahok tidak ditahan oleh kepolisian. Kapolri Tito Karnavian menjelaskan bahwa penyidik menilik dari syarat obyektif maupun subyektif, Ahok tidak perlu ditahan.

Dalam konteks obyektif, Tito yakin Ahok tidak akan melarikan diri karena Ahok dianggap cukup kooperatif. Salah satu alasannya karena Ahok bahkan berinisiatif lebih dulu mendatangi kepolisian untuk diperiksa.

Tito juga menambahkan, kendati tidak ditahan namun Ahok dicekal berpergian ke luar negeri. “Ketika yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon gubernur dan cuti, kecil kemungkinan yang bersangkutan melarikan diri. Namun sebagai antisipasi, penyelidik memutuskan melakukan pencekalan,” ujar Kapolri.

Tito juga tidak khawatir Ahok akan menghilangkan barang bukti. Kata Tito, semua barang bukti dalam kasus dugaan penistaan agama ini sudah disita dan diamankan penyidik.

Dalam KUHAP sendiri disebutkan bahwa tersangka pidana akan ditahan bila dikhawatirkan akan mengulangi lagi perbuatannya. Ahok dianggap tidak akan melakukannya lagi. “Di kalangan penyelidik dan penyidik belum melihat ada kekhawatiran itu,” kata Tito

Alasan seorang tersangka ditahan, pada umumnya merujuk pasal 20 KUHAP Ayat 1 yang menyatakan: “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu berwenang melakukan penahanan.” Sedangkan pada ayat 2 menyebutkan: “Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.”

Bagi polisi, Pasal 20 KUHAP ini tak diperlukan karena Ahok sudah memenuhi syarat-syarat yang diucapkan Tito, plus berdasarkan ketentuan Pasal 21 KUHP. Pasal ini membedakan tentang sahnya (rechvaar-dighed) dan perlunya penahanan (noodzakelijkheid) dilakukan pada tersangka.

Sahnya penahanan (rechvaar-dighed) bersifat mutlak dan obyektif. Sedangkan perlunya penahanan (noodzakelijkheid) adalah penahanan yang tergantung penilaian pejabat alias subyektif.

Dalam kasus Ahok, dia diuntungkan konteks noodzakelijkheid yang tertuang dalam pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHAP”) tentang perintah penahanan seorang tersangka. Pasal itu memaparkan penyidik bisa menahan jika memenuhi tiga unsur subyektif yakni (1) akan melarikan diri, (2) merusak atau menghilangkan barang bukti dan (3) kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.

Sedangkan dalam konteks obyektif atau yuridis yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP menjelaskan penyidik bisa menahan tersangka jika memenuhi dua poin yakni (1) tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan (2) tindak pidana itu berkaitan dengan kesusilaan (pasal 293), prostitusi (pasal 296), kekerasan (pasal 351 ayat 1), penganiayaan (pasal 353 ayat 1), penggelapan dan penipuan (pasal 373-379), kejahatan dan pelanggaran pelayaran (pasal 453-458), penadahan (pasal 480), mucikari (pasal 506), pelanggaran tindak pidana imigrasi dan narkoba.

Dalam konteks penilaian obyektif, jika merujuk pada poin pertama pasal 21 ayat 4 yang berbunyi “tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih” Ahok sebenarnya bisa masuk tahanan. Apa sebab? Pasal 156 a KUHP yang dijeratkan pada Ahok, ancaman pidananya adalah lima tahun penjara dan ini sudah masuk kategori.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, sepakat dengan syarat subyektif yang digunakan oleh kepolisian. Namun, katanya, “Secara obyektif yang disangkakan ancaman hukuman 5 tahun itu memenuhi kriteria (untuk ditahan).”

Meski masuk kategori untuk dilakukan penahanan, dia menuturkan semuanya kembali diserahkan kepada Polri. “Namun sepenuhnya menjadi kewenangan kepolisian untuk menggunakannya,” kata Abdul Fickar.

Pada kasus Ahok ini, polisi jelas memilih landasan subyektif ketimbang obyektif yang artinya mengabaikan pasal 21 ayat 4 dan bertumpu pada Pasal 21 ayat 1.

Kebebasan yang didapat Ahok ini tidak didapatkan para tersangka penistaan agama yang terseret pasal 156a, misalnya seperti Lia Eden. Pada 15 Desember 2008, perempuan bernama Lia Aminuddin ini ditangkap oleh polisi dengan tudingan penyebaran pamflet yang isinya meminta pemerintah menghapuskan agama Islam.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, saat itu juga Lia langsung ditahan. Polisi berkilah penahanan Lia ini demi menjaga situasi kondusif di masyarakat. Situasi yang sama juga dialami Tajul Muluk yang pada 2012 lalu dijerat pasal penistaan agama dalam kasus konflik Syiah di Sampang.

Mengapa dalam kasus Ahok berbeda?

Lagi-lagi memang ini sepenuhnya kewenangan kepolisian. “Seperti saya katakan bahwa dasar obyektif bisa digunakan alasan untuk menahan, tapi semuanya dikembalikan pada kepolisian. Tergantung kemauan politik polisi untuk menggunakan kewenangan itu,” ucap Fickar.

Dalam berbagai kasus, penentuan syarat subyektif ini memang sering kali bias karena bergantung pada penilaian pejabat yang sedang menangani kasus tersebut. Contohnya, meski seorang tersangka sering memenuhi wajib lapor dan alamatnya jelas, probabilitasnya untuk kabur tentu masih tetap ada. Meskipun dia kooperatif, polisi bisa saja menahannya karena sudah memenuhi syarat subyektif bahwa si tersangka akan kabur.

Landasan subyektif memang membuka celah terjadinya main-main perkara. Penilaian subyektif ini bisa kadang dijadikan alasan polisi menahan tersangka—misalnya—maling ayam yang belum terbukti betul, sedangkan pada kasus lain kadang polisi memilih tidak menahan pejabat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi karena terbuai prilaku kooperatif.

Tidak dapat dinafikan tak sedikit pula proses jual-beli penilaian subyektif dilakukan oleh para para aparat hukum. Dalam kasus Ahok, upaya penahanan ataupun penangguhan tahanan harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan syarat-syarat yang ada dan jangan sampai tersandera oleh kepentingan-kepentingan tertentu. (tirto/ar)

Share :