Fatwa Khitan Perempuan yang Bikin Heboh

ilustrasi
Share :
ilustrasi
ilustrasi

ragamlampung.com — Khitan perempuan di Malaysia hingga kini dianggap sebagai praktik yang wajib dijalankan. Dewan ulama negeri Jiran itu bahkan memberikan dasar hukum atas praktik yang masih kontroversial tersebut.
Tapi, fatwa itu dibantah oleh pakar medis. Mereka menegaskan praktik khitan perempuan tidak pernah diajarkan dalam Islam.

“Tidak ada satu pun ayat Al Quran atau hadis yang mewajibkan khitan pada perempuan,” kata ahli kardiotorasik dan dosen senior Jurusan Kedokteran Universitas Monash, Dr Farouk Musa.

Musa yang juga Direktur Islamic Renaissance Front, menjelaskan hadis yang menyatakan praktik yang dalam dunia kedokteran disebut ‘female genital mutilation’ (FGM) tidaklah sahih.

Pandangan ini berbeda dari praktik di kalangan Muslim Malaysia rata-rata bermazhab Syafi’i, mengamalkannya dengan bebas. Bahkan, hal itu dianggap kewajiban dalam agama.

FGM melibatkan pemotongan bagian alat kelamin perempuan, dan menimbulkan kontroversi yang berkaitan dengan perdebatan tentang kesetaraan gender.

Tahun 2009, Muzakarah Majlis Fatwa Kebangsaan menetapkan hukum khitan bagi perempuan adalah wajib. Tetapi, amalan itu dapat dihindari jika membahayakan.

Ini bertentangan dengan pendirian ulama tersohor yang menjadi referensi penting fikih aliran Sunni zaman ini, Dr Yusuf Al Qaradawi.

Menurut fatwa Qaradawi, FGM bukan tuntutan agama. Dia malah menyebut praktik ini berbahaya dan harus dihentikan.

Satu alasan yang sering diutarakan oleh mereka yang mengamalkan FGM adalah, dapat membatasi nafsu seksual wanita ketika dewasa. Sehingga mereka menilai praktik tersebut merupakan sesuatu yang baik.

Tetapi, Ginekolog sekaligus Kepala Departemen Pendidikan Kedokteran Universiti Kebangsaan Malaysian Dr Harlina Siraj menggambarkan pandangan itu sebagai ‘penghinaan’ terhadap perempuan.

“Ini sangat menghina. Padahal tidak ada dalam sirah (sejarah kehidupan Nabi Muhammad) yang menyatakan Nabi mengkhitankan anaknya. Sebagai dokter, kami hanya lakukan sesuatu yang memiliki dasar dan ada data ilmiah. Berbeda dari pria, tidak ada penelitian menunjukkan khitan perempuan memberikan manfaat, bahkan ada risiko terjadinya kesalahan ketika dilakukan,” kata Dr Harlina.

Dr Farouk mengutip ilmuwan Islam terkenal dari Mesir, Dr Mohammad Salim Al Awa, yang mengatakan praktik FGM hanyalah budaya sebagian masyarakat Arab.

“Seperti yang dikatakannya, Nabi Muhammad tidak pernah mengkhitankan walau seorang bayi perempuan pun. Tindakan itu untuk menunjukkan itu bukan ajaran Islam,” katanya.

Dr Farouk menyalahkan penafsiran agama dan budaya yang bersifat patriarkal dalam masyarakat.

Beberapa negara Islam termasuk Mesir dan Indonesia baru-baru ini meluncurkan kampanye memerangi praktik khitan perempuan.

Pada 2006, tindakan pemerintah Indonesia melarang praktik itu dibantah beberapa ulama termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kini Indonesia meluncurkan kampanye mengakhiri praktik itu. Salah satunya bekerjasama dengan badan-badan agama dan organisasi wanita untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

Bulan lalu, Mesir menyetujui undang-undang yang menetapkan hukuman lebih berat bagi mereka yang mengamalkan FGM.

Praktik itu dilarang di Mesir meskipun sembilan dari 10 perempuan dan anak perempuan berusia antara 15 dan 49 pernah menjalani FGM.

Praktik itu juga merajalela di kalangan penduduk Kristen, dan dianggap normal di Eritrea, Ethiopia dan Somalia.

Meski demikian, Dr Farouk mengakui prosedur FGM di Malaysia tidak membuang terlalu banyak kelebihan kulit pada kemaluan perempuan. Sehingga praktik ini berbeda dengan di negara lain.

“Tapi, sebaiknya hal itu tidak perlu dilakukan. Apa hak kita? Tidak kebaikan melainkan merugikan, karena risiko fisik seperti infeksi serta psikologis kepada perempuan,” kata dia.

“Saya sarankan Mufti Malaysia meninjau kembali fatwa khitan perempuan dengan mengacu pandangan pada Qaradawi dan Al-Awa yang melarangnya,” ucap Farouk. (ar)

Share :