Himbauan JA Soal Korupsi Dibawah 50 Juta Tidak Perlu Dipidana
ragamlampung.com – Penerapan himbauan jaksa agung agar korupsi dibawah 50 juta tidak diproses pidana melanggar sejumlah azas. Diantaranya, azas legalitas, azas praduga tak bersalah dan azas semua sama dimata hukum.
Hal ini dijelaskan oleh Vice Presiden Kongres Advokat Indonesia Dr Heru S Notonegoro saat menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar oleh DPD KAI Lampung, Minggu, (13/02/2022) di Cafe Legend, Bandarlampung.
Dr Heru memaparkan, himbauan menjadi sebuah instruksi internal bagi kalangan kejaksaan.
“Betul himbauan, persoalannya siapa yang berani ketika jaksa agung menyebut hal tersebut, maka secara otomotasi himbauan ini menjadi sebuah instruksi bagi internal di kejaksaaan,” sebut Dr Heru dalam diskusi yang mengambil tema “Pro Kontra himbauan Jaksa Agung korupsi dibawah 50 juta diselesaikan tanpa proses pidana”.
Selanjutnya disampaikan Dr Heru jika ini diterapkan akan banyak instrumen hukum yang harus diperbaharui.
“UU Kejaksaan, UU kepolisian dan UU Kekuasaan Kehakiman masing masing punya aturan main dan tidak bisa saling bertentangan. Bila satu boleh maka belum tentu bisa dengan UU lainnya,” kata Dr Heru.
Salah satu peserta diskusi menyampaikan bahwa himbauan Kejagung bagi perkara korupsi yang kerugian negaranya Rp 50 juta bisa diselesaikan dengan mengembalikan kerugian negara selaras dengan proses hukum cepat, sederhana, dan biaya ringan. Jaksa Agung Burhanuddin ingin mencari solusi yang tepat menindak pelaku korupsi.
“Saya rasa himbauan tersebut merupakan respon Bapak Jaksa Agung RI dan himbauan yang sifatnya umum untuk menjadi pemikiran bersama dan diperoleh solusi yang tepat dalam penindakan tindak pidana korupsi yang menyentuh baik pelaku dan masyarakat di level akar rumput, yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan untuk mengambil uang negara, dan nilai kerugian keuangan negaranya pun relatif kecil. Tinggal bagaimana menerapkannya tanpa bertentangan dengan aturan hukum lainnya,” sebut Indra Jaya SH CIL , salah satu penanya dalam diskusi tersebut.
Indra memberi contoh tentang kasus kepala desa yang mengelola dana desa Rp 1 miliar tanpa adanya pelatihan mengelola uang. Dan juga contoh bendahara pemegang gaji yang membuat kesalahan dengan menaikkan gaji seseorang karyawan.
“Hal ini tentunya akan melukai keadilan masyarakat, apabila dilakukan penindakan tindak pidana korupsi padahal hanya sifatnya kesalahan administrasi,” tuturnya.
“Oleh karena itu, Bapak Jaksa Agung RI menghimbau untuk dijadikan renungan bersama bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi pun harus mengutamakan nilai keadilan yang substantif selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum. Wacana ini dibuka untuk dibahas ke publik agar penindakan tindak pidana korupsi pun berdasarkan pemikiran yang jernih atas hakikat penegakan hukum itu sendiri, yaitu pemulihan pada keadaan semula,” lanjutnya.
Selain itu, faktor biaya penegakan hukum terkadang justru lebih tinggi dari aset korupsi yang dikejar. Untuk satu perkara korupsi, penanganannya bisa lebih dari Rp 60 juta bahkan Rp 200 juta (KPK, 2021).
“Untuk kontranya, penerapan himbauan ini jelas bertentangan dengan UU Tipokor seperti yang terdapat dalam Pasal 4 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Tipikor yang menegaskan sebaliknya, bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
“UU Tipikor secara tegas menyebut pengembalian kerugian seharusnya hanya menjadi salah satu faktor yang meringankan pelaku dalam proses pemidanaannya, bukan menghilangkan pidananya,” papar Indra.
Diketahui diskusi yang dimoderatori oleh Reva Aprilia Ayuningtias menghadirkan Vice Presiden Kongres Advokat Indonesia Dr Heru S Notonegoro dan diikuti selain pengurus DPD KAI Lampung juga dihadiri sejumlah perwakilan organisasi advokat dan berbagai elemen lainnya yang merupakan mitra DPD KAI Lampung. (nofrizal)
Leave a Reply